Senin, 17 September 2012

tentang gusdur dari sorotan putrinya

Tentang Ayah: Gus Dur di Mata-Hati Alissa Wahid
Dalam kesempatan bertestimoni tentang Ayah, di nuansa Hari Ayah (Father’s day) yang biasa diperingati pada pekan ketiga bulan Juni, Alissa Qatrunnada Wahid, putri pertama KH. Abdurrahman Wahid bercerita tentang ayahanda tercintanya. Kesaksian Mbak Lisa melalui rangkaian tweet (yang sengaja saya sambung satu persatu) di jaringan social twitter, membuat para followernya (termasuk saya) termenung, terhenyak dan trenyuh, dengan kisah pandangan mata yang nyata di balik kebesaran nama almarhum.

Kyai Bisri, ahli fiqh

“Kiai Bisri terlibat sepenuhnya dalam proses konsolidasi kegiatan organisasi NU, seperti terbukti dri kiprahnya dalam mengembangkan dan mengawasi kegiatan lailatul ijtima, sebuah forum keagamaan untuk mengingat jasa mereka yang telah berpulang ke Rahmatullah..” (Gus Dur).

Bisri Lahir pada hari Jumat 5 Dzulhijjah 1304 atau 28 Agustus 1887, di Tayu-Pati, Jawa Tengah.  Ada yang mengatakan ia lahir 25 5 Djulhijjah 1304 atau 18 September 1886. Ia merupakan anak ketiga dari pasangan Kiai Syansuri dan Nyai Siti Mariah.

Bisri kecil sudah tekun belajar agama dari orang tuanya dan dari lingkungan yang memang tergolong kampung santri. Setelah mengkhatamkan Al-Qur’an, Bisri pergi ke Kajen-Margoyoso untuk nyantri ulama kenamaan, Kiai Abdus Salam. Ilmu alat dan kitab-kitab fiqih, tauhid, akhlak tingkat dasar diselesaikannya dengan baik di pesantren tersebut.

Memasuki usia remaja, tepatnya umur 15 tahun, Bisri pergi ke Bangkalan-Madura, untuk ngunduh kaweruh kepada guru yang masyhur sebagai waliyullah, Syaikhona Kholil. Di sinilah Bisri mempelajari ilmu fiqih lebih dalam lagi, di satu sisi. Di sisi lain, beliau mulai bersinggungan dengan tasawuf dan juga tarekat. Syaikhona Cholil adalah seorang ulama, guru semua ulama besar di Nusantara, yang berhasil menggabungkan ilmu fiqih yang lahiriah dan ilmu tasawuf serta tarekat yang cenderung batiniah.

Dan di Bangkalan pulalh, Bisri berjumpa dengan santri asal Jombang bernama Abdul Wahab Chasbullah, yang kelak menjadi teman seperjuangan dan juga suadara iparnya. Menurut Gus Dur lagi, perjumpaan dua anakmuda ini akan memengaruhi perkembangan Islam di Indonesia, utamanya pesantren dan NU.

Setelah dari Bangkalan, tahun 1906, Bisri berangkat ke Tebuireng-Jombang, mengaji kepada Harotusy Syaikh Hasyim Asy’ari. Bisri baru menginggalkan Tebuireng tahun 1911. Setelah dari sana, ia telah menjadi kiai muda. Dan tak lama kemudian, ia pergi ke Mekkah bersama Kiai Wahab. Di tanah suci, ia belajar kepada Muhammad Said al-Yamani, Syaikh Bakir, Syaikh Ibrohim Bafadlol, Syaikh Jamal al-Maliki,  Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau, Syaikh Mahfud Termas, dan lain-lian.

Sepulang dari Mekkah, tahun 1914, Bisri yang telah menjadi kiai ‘betulan’ menikah dengan adik Kiai Wahab Chasbullah, yakni Nur Khodijah binti Kiai Chasbullah. Dari perkawinan ini, mereka mendapatkan 10 anak: Ahmad Bisri, Muashomah, Sholilhah (istri Kiai Abdul Wahid Hasyim), Muslih, Musyarofah, Sholihun, Abdul Aziz, Shokhib. Kiai Bisri menikah lagi dengan Maryam Mahmud dari Jember, setelah Nyai Nur Khodijah wafat. Penting dicatat, baliau tidak melakukan poligami, padahal kiai kita ini mencintai fiqih dan hidup semasa belum ada kampanye monogami.

Pada tahun 1917, atas seizin mertuanya, Kiai Bisri meninggalkan Tambakberas, dan mengembangkan pesantren di desa Denanyar Jombang.

Dua tahun berikutnya, Kiai Bisri mengadakan kelas khusus untuk santri perempuan. Mula-mula, santri perempuan itu datang dari lingkungan sekitar. Menurut catatan Gus Dur, inilah pesantren pertama di Jawa yang menerima santri perempuan.

Semula kelas perempuan ini tidak disetujui oleh guru tercintanya, Kiai Hasyim Asy’ari, tapi setelah berkembang dan sangat nyata kemaslahatannya, kiai hasyim mengizinkannya. Hingga kini, pesantren Denanyar, terkenal juga dengan nama Mambaul Ma'arif, terus perkembang.

Kiai Bisri adalah pencinta dan pengikut setia ilmu fiqih. Gus Dur mencatat, Kiai Bisri bersama dengan Kiai As’ad dari Situbondo, Kiai Abdul Karim dari Sedayu-Gresik, Kiai Ahmad Baidlawi dari Banyumas, Kiai Ma’shum Ali dari Masukumambang-Gresik adalah kiai yang masuk “barisan kiai fiqih”. Inilah, kata Gus Dur, yang kelak memengaruhi perkembangan pesantren yang condong terhadap ilmu fiqih dan juga keputusan-keputusan sosial keagamaan atau politik di lingkungan Nahdlatul ulama.

Pada satu kesempatan di hari raya Idul Adha, ada cerita begini. Seorang warga datang ke Kiai Bisri, tujuannya bertanya tentang sapi yang akan disembelih.

"Kiai Bisri, keluarga saya delapan orang. apakah cukup kami kurban satu ekor satu untuk delapan jiwa?" tanya warga dengan takdim.
"Tidak bisa, Kang. Sapi untuk tujuh jiwa," jawab Kiai Bisri dengan lugas.

Warga pun kembali ke rumahnya, dengan lesu. Oleh tetangganya, warga tersebut disarankan datang ke Kiai Wahab Hasbullah. Datanglah ia dengan segera ke pesantren Tambakberas, kediaman Kiai Wahab.

"Kiai Wahab, keluarga saya delapan orang. apakah cukup kami kurban satu ekor satu untuk delapan jiwa?"
"Boleh saja, Kang. kenapa tidak boleh."
"Betul boleh, Kiai?"
"Boleh, boleh. Keluarga Sampeyan yang paling kecil umur berapa?"
"Anak saya yang paling kecil 5 tahun,Kiai."
"Kalau begitu beli satu ekor kambing lagi. Buat pancikan anakmu yang paling kecil itu."

Warga tadi pulang dengan rasa puas. Dia tidak merasa bahwa Kiai Wahab telah "mengerjainya". Dia merasa kiai yang baru didatanginya itu lebih longgar daripada Kiai Bisri, padahal, esensi yang disampaikan antara kedua kiai itu sama, cuma beda model komunikasi.

Kesetiaan Kiai Bisri pada fiqih, sering membuatnya tampak bersebrangan dengan karibnya, Kiai Wahab. Padahal tidak, keduanya memiliki tugas yang berbeda. Bila Kiai Bisri berperan sebagai kiai yang harus memandang dan memeriksa persoalan dalam segi fiqih murni, maka Kiai Wahab mencari solusi dari pelbagai aspek secara menyeluruh, tidak hanya aspek fiqih. Dua pendapat ini akan ditemukan  untuk mendapatkan jalan keluar yang pas, relevan dengan keadaan, dan tidak bertentangan dengan fiqih. Kedua kiai ini saling menghormati. Saking hormatnya, kiai wahab tidak bersedia menjaadi Rais Aam di muktamar NU Bandung, tahun 1967. Padahal waktu itu, kiai wahab sudah banyak udzur karena sepuh. Selgi kiai Wahab ada, apapun keadaannya, Kiai Bisri tidak bersedia menjadi rais ‘am.

Sebagai murid terkasih Mbah Hasyim Asy’ari dan sebagai sahabat karib Kiai Wahab Chasbullah, Kiai Bisri terlibat aktif dalam melahirkan Nahdlatul Ulama. Mula-mula Kiai Bisri diajak mendirikan Nahdlatut Tujjar oleh Kiai Wahab. Ketika rezim Wahabi di Saudi semakin keras menolak pemahaman orang-orang bermadzhab dan menganut pemirikannya mereka, Kiai Wahab dan Kiai Bisri berkeliling ke Jawa, dari Banyuwangi hingga ke Menes banten, guna mensosialiasi pemikiran-pemikiran keagamaan yang menghormati orang bermadzhab.

Setelah solid, terbentuklah komite hijaz, sebuah kepanitiaan yang mengajukan konsep beragama yang menghargai paham lain, kebebasan menjalankan ibadah haji dan penolakan penghancuran situs-situs bersejarah di Mekkah dan Madinah, termasuk kuburan Rasulullah.

Komite hijaz menjadi salah satu titik tolak lahirnya NU, 31 Januari 1926. Diceritakan, pada hari-hari menjelang berdirinya NU di Surabaya itu, di saat kiai dan ulama dari seluruh Jawa, Madura, Kalimantan Selatan sudah berkumpul, Mbah Hasyim masih di Jombang, belum yakin atas gagasan mendirikan NU. Maka, Kiai Bisrilah yang diminta menjemput Mbah Hasyim Asyari dari Jombang untuk berangkat ke Surabaya. Gus Dur memberi catatan, hanya Kiai Bisrilah yang dapat meyakinkan gurunya atas berdirinya NU.

Pasca berdirinya NU, Kiai Bisri terlibat langsung mengikuti pergerakan organisasi sebagaimana karibnya, Kiai Wahab. Kiai Bisri tercatat sebagai penggerak Lailatul ijtima’, wadah konsolidasi jamaah. Ia sangat tekun dan istikomah dalam menggerakkan majlis tersebut. Majlis tersebut mengumpulkn para aktifis NU pada malam hari, umumnya sebulan sekali, baik di tingkat kecamatan hingga tingkat kabupaten. Lailatul ijtima berisi tahlilan, kirim doa kepada yang sudah meninggal, hingga perbincangan seputar organisasi.

Kiai bisri juga mendorong upaya pendirian rumah yatim piatu di beberapa tempat, termasuk di Jombang. Hingga akhir hayatnya, Kiai Bisri dikenal dekat dengan kaum papa.

Kiai Bisri Syansuri aktif dalam pergerakan mengusir penjajah dari tanah air, terutama setelah pecahnya perang dunia kedua. Di masa penjajahan Jepang, Kiai Bisri terlibat dalam pertahanan negara secara langsung, yakni dengan menjadi Kepala Staf Markas Oelama Djawa Timur (MODT), yang berkedudukan di Waru, dekat Surabaya. Hingga lahirnya TNI, MODT tidak dibubarkan dan Kiai Bisri tetap menjadi kepala.

Di usia yang sudah 50 tahun, Kiai Bisri aktif berkonsultasi degan para komandan militer di daerah pertempuran Surabaya-Jombang, hingga pecahnya pertempuran 10 Nopember 1945 di Surabaya.

Pasca kemerdekaan, Kiai Bisri juga terlibat aktif dalam pemerintahan. Pada tahun 1946, ia menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), anggota konstituante, DPR-GR, dan anggota DPR pasca pemilu 1971.