Sabtu, 19 Maret 2011

BID'AH HASANAH

Berikut ini beberapa contoh Bid’ah Hasanah. Di antaranya:

1. Shalat Sunnah dua raka’at sebelum dibunuh. Orang yang pertama kali melakukannya adalah Khubaib ibn ‘Adiyy al-Anshari; salah seorang sahabat Rasulullah. Tentang ini Abu Hurairah berkata:
فَكَانَ خُبَيْبٌ أَوَّلَ مَنْ سَنَّ الصَّلاَةَ عِنْدَ الْقَتْلِ (رواه البخاريّ)

“Khubaib adalah orang yang pertama kali merintis shalat ketika akan dibunuh”. (HR. al-Bukhari dalam kitab al-Maghazi, Ibn Abi Syaibah dalam kitab al-Mushannaf)

Lihatlah, bagaimana sahabat Abu Hurairah menggunakan kata “Sanna” untuk menunjukkan makna “merintis”, membuat sesuatu yang baru yang belaum ada sebelumnya. Jelas, makna “sanna” di sini bukan dalam pengertian berpegang teguh dengan sunnah, juga bukan dalam pengertian menghidupkan sunnah yang telah ditinggalkan orang.

Salah seorang dari kalangan tabi'in ternama, yaitu al-Imam Ibn Sirin, pernah ditanya tentang shalat dua raka’at ketika seorang akan dibunuh, beliau menjawab:

صَلاَّهُمَا خُبَيْبٌ وَحُجْرٌ وَهُمَا فَاضِلاَنِ.

“Dua raka’at shalat sunnah tersebut tersebut pernah dilakukan oleh Khubaib dan Hujr bin Adiyy, dan kedua orang ini adalah orang-orang (sahabat Nabi) yang mulia”. (Diriwayatkan oleh Ibn Abd al-Barr dalam kitab al-Isti’ab) (al-Isti’ab Fi Ma’rifah al-Ash-hab, j. 1, h. 358)

2. Penambahan Adzan Pertama sebelum shalat Jum’at oleh sahabat Utsman bin ‘Affan. (HR. al-Bukhari dalam Kitab Shahih al-Bukhari pada bagian Kitab al-Jum'ah).

3. Pembuatan titik-titik dalam beberapa huruf al-Qur’an oleh Yahya ibn Ya’mur. Beliau adalah salah seorang tabi'in yang mulia dan agung. Beliau seorang yang alim dan bertaqwa. Perbuatan beliau ini disepakati oleh para ulama dari kalangan ahli hadits dan lainnya. Mereka semua menganggap baik pembuatan titik-titik dalam beberapa huruf al-Qur’an tersebut. Padahal ketika Rasulullah mendiktekan bacaan-bacaan al-Qur’an tersebut kepada para penulis wahyu, mereka semua menuliskannya dengan tanpa titik-titik sedikitpun pada huruf-hurufnya. 

Demikian pula di masa Khalifah ‘Utsman ibn ‘Affan, beliau menyalin dan menggandakan mush-haf menjadi lima atau enam naskah, pada setiap salinan mush-haf-mush-haf tersebut tidak ada satu-pun yang dibuatkan titik-titik pada sebagian huruf-hurufnya. Namun demikian, sejak setelah pemberian titik-titik oleh Yahya bin Ya'mur tersebut kemudian semua umat Islam hingga kini selalu memakai titik dalam penulisan huruf-huruf al-Qur’an. Apakah mungkin hal ini dikatakan sebagai bid’ah sesat dengan alasan Rasulullah tidak pernah melakukannya?! Jika demikian halnya maka hendaklah mereka meninggalkan mush-haf-mush-haf tersebut dan menghilangkan titik-titiknya seperti pada masa ‘Utsman. 

Abu Bakar ibn Abu Dawud, putra dari Imam Abu Dawud penulis kitab Sunan, dalam kitabnya al-Mashahif berkata: “Orang yang pertama kali membuat titik-titik dalam Mush-haf adalah Yahya bin Ya’mur”. Yahya bin Ya’mur adalah salah seorang ulama tabi'in yang meriwayatkan (hadits) dari sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar dan lainnya.

Demikian pula penulisan nama-nama surat di permulaan setiap surat al-Qur’an, pemberian lingkaran di akhir setiap ayat, penulisan juz di setiap permulaan juz, juga penulisan hizb, Nishf (pertengahan Juz), Rubu' (setiap seperempat juz) dalam setiap juz dan semacamnya, semua itu tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Apakah dengan alasan semacam ini kemudian semua itu adalah bid’ah yang diharamkan?!

4. Pembuatan Mihrab dalam masjid sebagai tempat shalat Imam, orang yang pertama kali membuat Mihrab semacam ini adalah al-Khalifah ar-Rasyid ‘Umar ibn Abd al-'Aziz di Masjid Nabawi. Perbuatan al-Khalifah ar-Rasyid ini kemudian diikuti oleh kebanyakan ummat Islam di seluruh dunia ketika mereka membangun masjid. Siapa berani mengatakan bahwa itu adalah bid’ah sesat, sementara hampir seluruh masjid di zaman sekarang memiliki mihrab?! Siapa yang tidak mengenal Khalifah ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Aziz sebagai al-Khalifah ar-Rasyid?!

‎1. Taqrir nabi. = sunnah. 2. A.adzan pertama sebelum shalat jum'at tidak terjadi ijma' dikalangan sahabat. ini hanya ijtihadnya Utsman. B. kalopun ingin mengikuti, adzan pertama di pasar, bukan di masjid. sebelum masuk waktu. berbeda dengan yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin sekarang. 3. masalah pemberian tanda2 baca pada huruf2 alquran adalah mshalihul mursalah. ketika Islam tlh menyebar di luar jazirah arab, maka banyak perselisihan. .......oleh karena itu dibuat tanda agar manusia tidak salah baca. artinya begini: sesuatu ilmu akan muncul ketika umat membutuhkannya. ketika belum dibutuhkan tentu tidak perlu. 4. seandainya benar Umar bin Abdil Aziz melakukan itu, itu bukan berarti menjadi sunnah atau dianggap bid'ah hasanah. Umar b. abd Aziz manusia biasa, ijtihadnya bisa salah bisa benar. Allahu A'lam.
43 menit yang lalu · Suka
@abu ghailan:
memang benar bahwa perbuatan baru sahabat yang dibenarkan oleh Rasul adalah sunnah. tetapi hal itu karena diketahui oleh rasulullah dan karena rasulullah masih hidup.
Lalu bagaimana kalau misalnya, para sahabat melakukan suatu perbuatan yg mana perbuatan itu hal yang baru dan tidak pernah dilakukan oleh rasulullah??
apakah kita akan mengecapnya sebagai bid'ah ?
dan para sahabat kita sebut ahli bid'ah??
tentunya tidak!

kembali kita harus berkaca apakah perbuatan baru tersebut bertentangan dengan Al-Qur'an dan hadits ataukah tidak. padahal banyak lho perbuatan para sahabat yg baru yang tidak dilakukan oleh rasulullah. masa kita mau menuduh sahabat sebagai AHLI BID'AH?

dari situlah maka Imam syafi'i mengatakan

الْمُحْدَثَاتُ مِنَ اْلأُمُوْرِ ضَرْبَانِ : أَحَدُهُمَا : مَا أُحْدِثَ ِممَّا يُخَالـِفُ كِتَابًا أَوْ سُنَّةً أَوْ أَثرًا أَوْ إِجْمَاعًا ، فهَذِهِ اْلبِدْعَةُ الضَّلاَلـَةُ، وَالثَّانِيَةُ : مَا أُحْدِثَ مِنَ الْخَيْرِ لاَ خِلاَفَ فِيْهِ لِوَاحِدٍ مِنْ هذا ، وَهَذِهِ مُحْدَثَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَةٍ (رواه الحافظ البيهقيّ في كتاب " مناقب الشافعيّ)

“Perkara-perkara baru itu terbagi menjadi dua bagian. Pertama: Perkara baru yang menyalahi al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ atau menyalahi Atsar (sesuatu yang dilakukan atau dikatakan sahabat tanpa ada di antara mereka yang mengingkarinya), perkara baru semacam ini adalah bid’ah yang sesat. Kedua: Perkara baru yang baru yang baik dan tidak menyalahi al-Qur’an, Sunnah, maupun Ijma’, maka sesuatu yang baru seperti ini tidak tercela”. (Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dengan sanad yang Shahih dalam kitab Manaqib asy-Syafi’i) (Manaqib asy-Syafi’i, j. 1, h. 469).

sampai disini sudah paham dengan penjelasan saya apa belum? kalau sudah mari kita tengok lagi hadits yg sering dipakai senjata untuk menuduh "bid'ah", "sesat", "kafir", dll oleh sekelompok orang.

مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه البخاريّ ومسلم)

“Barang siapa yang berbuat sesuatu yang baharu dalam syari’at ini yang tidak sesuai dengannya, maka ia tertolak”. (HR. al-Bukhari dan Muslim)

sabda Rasulullah di atas yg: “Ma Laisa Minhu”, artinya “Yang tidak sesuai dengannya”, bahwa perkara baru yang tertolak adalah yang bertentangan dan menyalahi syari’at. Adapun perkara baru yang tidak bertentangan dan tidak menyalahi syari’at maka ia tidak tertolak.

seperti halnya zaman para sahabat, lalu tabi'in hingga zaman skrg yang melakukan perbuatan baru itu tidak serta merta dianggap bid'ah apabila tidak bertentangan dgn syari'at.

Sampai disini sudah paham belum? mohon diskusinya yg baik, teratur, dan terarah.
memang benar bahwa perbuatan baru sahabat yang dibenarkan oleh Rasul adalah sunnah. tetapi hal itu karena diketahui oleh rasulullah dan karena rasulullah masih hidup. 
Lalu bagaimana kalau misalnya, para sahabat melakukan suatu perbuatan yg mana perbuatan itu hal yang baru dan tidak pernah dilakukan oleh rasulullah?? 
apakah kita akan mengecapnya sebagai bid'ah ? 
dan para sahabat kita sebut ahli bid'ah?? 
tentunya tidak!

kembali kita harus berkaca apakah perbuatan baru tersebut bertentangan dengan Al-Qur'an dan hadits ataukah tidak. padahal banyak lho perbuatan para sahabat yg baru yang tidak dilakukan oleh rasulullah. masa kita mau menuduh sahabat sebagai AHLI BID'AH?

dari situlah maka Imam syafi'i mengatakan

الْمُحْدَثَاتُ مِنَ اْلأُمُوْرِ ضَرْبَانِ : أَحَدُهُمَا : مَا أُحْدِثَ ِممَّا يُخَالـِفُ كِتَابًا أَوْ سُنَّةً أَوْ أَثرًا أَوْ إِجْمَاعًا ، فهَذِهِ اْلبِدْعَةُ الضَّلاَلـَةُ، وَالثَّانِيَةُ : مَا أُحْدِثَ مِنَ الْخَيْرِ لاَ خِلاَفَ فِيْهِ لِوَاحِدٍ مِنْ هذا ، وَهَذِهِ مُحْدَثَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَةٍ (رواه الحافظ البيهقيّ في كتاب " مناقب الشافعيّ) 

“Perkara-perkara baru itu terbagi menjadi dua bagian. Pertama: Perkara baru yang menyalahi al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ atau menyalahi Atsar (sesuatu yang dilakukan atau dikatakan sahabat tanpa ada di antara mereka yang mengingkarinya), perkara baru semacam ini adalah bid’ah yang sesat. Kedua: Perkara baru yang baru yang baik dan tidak menyalahi al-Qur’an, Sunnah, maupun Ijma’, maka sesuatu yang baru seperti ini tidak tercela”. (Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dengan sanad yang Shahih dalam kitab Manaqib asy-Syafi’i) (Manaqib asy-Syafi’i, j. 1, h. 469). 

sampai disini sudah paham dengan penjelasan saya apa belum? kalau sudah mari kita tengok lagi hadits yg sering dipakai senjata untuk menuduh "bid'ah", "sesat", "kafir", dll oleh sekelompok orang.

مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه البخاريّ ومسلم)

“Barang siapa yang berbuat sesuatu yang baharu dalam syari’at ini yang tidak sesuai dengannya, maka ia tertolak”. (HR. al-Bukhari dan Muslim)

sabda Rasulullah di atas yg: “Ma Laisa Minhu”, artinya “Yang tidak sesuai dengannya”, bahwa perkara baru yang tertolak adalah yang bertentangan dan menyalahi syari’at. Adapun perkara baru yang tidak bertentangan dan tidak menyalahi syari’at maka ia tidak tertolak.

seperti halnya zaman para sahabat, lalu tabi'in hingga zaman skrg yang melakukan perbuatan baru itu tidak serta merta dianggap bid'ah apabila tidak bertentangan dgn syari'at. 

Sampai disini sudah paham belum? mohon diskusinya yg baik, teratur, dan terarah.

Perbuatan sahabat yang dibenarkan oleh Rasul adalah Sunnah. Pembenaran ini adalah selama Rasulullah masih hidup, setelah Rasulullaah wafat, beliau tidak membenarkan dan menyalahkan, hanya Shahabat tidak melakukan segala sesuatu yang bertentangan dengan al Quran dan Hadits sekalipun Rasulullah tidak melakukannya. Begitu juga dengan para tabi'in, artinya Bid'ah Hasanah itu tidak bisa dipungkiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar