Rabu, 01 Agustus 2012

masalah hilal


Oleh Abulwafa Romli

Mayoritas kaum muslim diseluruh dunia telah memulai berpuasa pada hari Jum’at, 20 Juli 2012, dengan rukyat Cakung sebagai landasan syar’inya, karena disana sudah ada 
empat orang muslim yang memenuhi syarat-syarat kesaksian, yang telah bersaksi bahwa mereka telah melihat hilal tanggal 1 Ramadhan dan mereka juga telah bersumpah.

Namun pemerintah melalui sidang itsbatnya telah menolak secara terang-terangan terhadap rukyat Cakung tersebut, dengan alasan secara hisab hilal tidak mungkin bisa dilihat dari Indonesia, karena meskipun hilal telah wujud, tapi masih dibawah dua derajat. Sedangkan mereka yang telah melihat mengaku bahwa hilal berada sekitar tiga sampai empat derajat. Sehingga rukyat Cakung dianggap mengada-ada dan dusta. Dan diantara tokoh-tokoh yang menolak ada yang berargumentasi dan berhujah dengan sejumlah maqalah ulama berikut sebagai argumen dan hujjahnya:

MAQALAH PERTAMA:

وفي المغني الخطيب ما نصه: فرع لو شهد برؤية الهلال واحد أو اثنان واقتضى الحساب عدم إمكان رؤيته قال السبكي لا تقبل هذه الشهادة لأن الحساب قطعي والشهادة ظنية والظن لا يعارض القطع وأطال في بيان رد هذه الشهادة والمعتمد قبولها إذ لا عبرة بقول الحساب اهـ. وفصل في التحفة فقال : الذي يتجه أن الحساب إن اتفق أهله على أن مقدماته قطعية وكان المخبرون منهم بذلك عدد التواتر ردت الشهادة وإلا فلا اهـ إعانة الطالبين للسيد أبي بكر المشهور بالسيد البكري بن السيد محمد شطا الشافعي 2/216

“Dan dalam kitab al-Mughni karya al-Khathiib dijelaskan demikian: Ketika ada satu orang atau dua orang telah bersaksi dengan melihat hilal, sedangkan hisab menetapkan bahwa hilal tidak mungkin dapat dilihat, maka as-Subuki berpendapat bahwa kesaksian itu tidak diterima, karena hisab itu qath’iy (pasti) dan kesaksian itu dzanniy (dugaan), sedangkan dzan itu tidak dapat mengalahkan qath’iy, dan as-Subuki memanjangkan keterangan penolakan kesaksian. Sedang miturut pendapat mu’tamad (yang dijadikan pegangan) adalah menerima kesaksian itu, karena pendapat hisab itu tidakdiperhitungkan. Dan dalam kitab at-Tuhfah dikatakan, ketika pakar hisab telah sepakat bahwa pendahuluan hisab itu pasti, dan para pakar hisab yang menyampaikan khabar itu mencapai jumlah mutawatir, maka kesaksian (rukyat) itu harus ditolak, dan kalau tidak demikian maka tidak ditolak”. (I’aanatut Thalibiin, karya Sayyid Abu Bakar yang populer disebut Sayyid Bakriy bin Sayyid Muhammad Syatha pengikut madzhab Syafi’iy, juz 2, hal. 216).

MENYINGKAP SYUBHAT:

1- Padahal dalam kitab I’aanatut Thalibiin sendiri dikatakan demikian:

{أو برؤية عدل واحد} أي ويجب صوم رمضان برؤية عدل واحد الهلال، لأن ابن عمر رضي الله عنهما رأه فأخبر رسول الله صلى الله عليه وسلم بذلك فصام وأمر الناس بصيامه. رواه أبو داود وصححه ابن حبان. وعن ابن عباس رضي الله عنهما قال جاء أعرابي إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال إني رأيت هلال رمضان فقال أتشهد أن لا إله إلا اله وأن محمدا رسول الله قال نعم قال يا بلال أذن في الناس فليصوموا. صححه ابن حبان والحاكم. والمعنى في ثبوتها بالواحد الإحتياط للصوم ولأن الصوم عبادة بدنية فيكفي في الإخبار بدخول وقته واحد ... {إعانة الطالبين للسيد أبي بكر ج 2 ص 215-216}.

“(atau dengan rukyatnya satu orang yang adil), yakni puasa Ramadlan itu wajib dengan melihat hilalnya seorang adil, karena “Ibnu Umar RA telah melihat hilal lalu memberitahukannya kepada Rasulullah SAW, lalu beliau puasa dan menyuruh orang-orang agar berpuasa”. HR Abu Daud dan disahihkan oleh Ibnu Hiban. Dan Ibnu Abbas RA berkata: “Seorang badui telah datang kepada Rasulullah SAW seraya berkata: “Sesungguhnya aku telah melihat hilal Ramadlan”, beliau bersabsda: “Apakah anda mau bersaksi bahwasanya tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah?”, badui itu berkata: “Ya”. Beliau bersabda: “Wahai Bilal, umumkan kepada orang-orang, hendaklah mereka berpuasa!”. HSR Ibnu Hiban dan Hakim. Arti tetapnya rukyat hilal dengan satu orang adalah karena berhati-hati dengan puasa, dan karena puasa itu merupakan ibadah fisik, maka cukup berita masuk waktunya dengan satu orang…”.(I’aanatut Thalibiin, karya Sayyid Abu Bakar, juz 2, hal 215-216).

2- Pada maqalah pertama dikatakan: ”Ketika ada satu orang atau dua orang telah bersaksi dengan melihat hilal”. Sedangkan di Cakung sudah ada empat orang. Ini terkait rukyat nasional. Sedangkan miturut rukyat global, maka sudah ada puluhan orang, bahkan bisa ratusan orang.

3- Pada maqalah pertama dikatakan: “karena hisab itu qath’iy (pasti) dan kesaksian itu dzanniy (dugaan), sedangkan dzan itu tidak dapat mengalahkan qath’iy”. Sesungguhnya keakuratan dan kepastian hisab itu hanya miturut ilmu hisab, bukan miturut metode yang lain, jadi menjadi pasti karena tidak memakai metode pembanding (mizan / neraca). Sedangkan kalau dibandingkan dengan metode rukyat seperti yang selama ini telah dilakukan di Cakung, maka justru hisab itu yang dzanni, karena hanya bersandar kepada hitungan angka-angka. Faktanya juga hilal sudah bisa dirukyat di Cakung. Sebagaimana kebenaran demokrasi itu ya miturut demokrasi. Tetapi faktanya berbalik 180 derajat ketika demokrasi dibandingkan dengan sistem Islam. Dan dalam khazanah fuqaha, ketika mereka menerangkan awal waktu dzuhur yaitu sejak tergelincirnya Matahari, maka mereka mengatakan bahwa yang mengerti dengan hakekat tergelincirnya Matahari itu hanya Allah SWT.

Saya juga sejak usia sepuluh tahun sering berada ditempat terbuka. Ketika bulah Ramadhan saya sering mendengar azan maghrib dari perkampungan terdekat yang mengikuti waktu hasil hisab. Ternyata saya seringkali melihat Matahari belum terbenam.

4-Pada maqalah pertama dikatakan: “ketika pakar hisab telah sepakat bahwa mukadimah hisab itu pasti, dan para pakar hisab yang menyampaikan khabar itu mencapai jumlah mutawatir, maka kesaksian (rukyat) itu harus ditolak, dan kalau tidak demikian, maka tidak ditolak”. Ini berlaku ketika yang melihat hilal itu satu atau dua orang, tetapi kalau yang melihat hilal juga jumlahnya mencapai bilangan mutawatir, maka tidak berlaku lagi. Dengan demikian, hisab harus ditolak dan rukyat harus diterima.

5-Oleh karena itu, pada maqalah pertama dikatakan: “Sedang miturut pendapat mu’tamad (yang dijadikan pegangan) adalah menerima kesaksian itu, karena pendapat hisab itu tidak.diperhitungkan”. Inilah pendapat jumhur ulama dan kesepakatan empat imam besar (Abu Hanifah, Malik bin Anas, as-Syafi’iy dan Ahmad bin Hanbal). Lihat catatan fb saya, Pendapat Ulama Terkait Rukyat Global.

AQALAH KEDUA:

فما اشترطه الشيخ من اخبار عدد التواتر بالإستحالة حاصل بتواتر الكتب ونقله في جملة منها وقد تقرر نقل الإستحالة في كثير من الكتب الشرعية فضلا عن الكتب الحسابية كما عرفته مما سبق نقله عن الأئمة ، وتواتر الكتب معتبر كما نص على ذلك الشيخ ابن حجر في تحفته في كتاب السير ولفظه : تواتر الكتب معتد به كما صرحوا به ، قال سيدنا علوي باحسن فيكفى ذكر الإستحالة في خمسة كتب فصاعدا من كتب الحساب ، والإجماع المنقول بالآحاد حجة أيضا كما في جمع الجوامع فحينئذ فيكفي نقل الثقة إجماع أهل الحساب أن هذا الأمر مستحيل وقال : الأمر المأخوذ من الكتاب والسنة هو الذي عليه التعويل والمخالف لهما مردود وإن كان في صورة دليل.

“Syarat yang telah ditetapkan oleh al-Syaikh, yakni penyampaian khabar dari bilangan mutawatir dengan tidak mungkinnya melihat hilal itu menjadi hasil dengan kemutawatiran sejumlah kitab dan mengutifnya dari kitab-kitab itu. Pengutifan ketidak mungkinan melihat hilal itu telah tetap pada sejumlah kitab syara’ terutama kitab hisab, sebagaimana anda telah mengetahuinya dari kutifan terdahulu dari para imam. Kemutawatiran kitab-kitab itu diperhitungkan, sebagaimana telah diterangkan oleh Syaikh Ibnu Hajar dalam kitab Tuhfahnya pada kitab al-siyar, redaksinya: “Kemutawatiran kitab-kitab itu diperhitungkan, sebagaimana telah dijelaskan oleh para imam”. Sayyidina Alwi Bahasan berkata: “Maka cukup penyebutan ketidak mungkinan itu pada lima kitab atau lebih dari kitab hisab. Ijmak yang dikutif secara ahad juga menjadi hujah, seperti dalam kitab Jam’ul Jawaami’. Maka pengutifan orang tsiqah (adil) terhadap ijma’ ahli hisab, bahwa perkara melihat hilal itu tidak mungkin, itu mencukupi”. Dan berkata: “Perkara yang diambil dari al-Kitab (Qur’an) dan Sunnah itu yang harus diambi. Sedang yang menyalahi keduanya itu tertolak, meskipun berupa dalil”. (al-Alaamah Abu Bakar bin Ahmad bin Abdullah al-Khathib al-Anshari at-Tarimi al-Hadlrami as-Syafi’iy, al-Fataawa an-Naafi’ah fii Masaailil Ahwaalil Waaqi’qh, hal. 27).

MENYINGKAP SYUBHAT:

1-Pada maqalah kedua itu juga terkait ketika orang yang telah melihat hilal itu hanya satu atau dua orang, tidak empat orang atau lebih, karena masih berkaitan dengan maqalah pertama.

2-Sejumlah kitab yang kemutawatirannya diperhitungkan, miturut hemat saya, adalah kitab-kitab hisab yang terdiri dari berbagai metode (madzhab), tidak dari satu metode. Jadi meskipun kitabnya banyak, tetapi kalau terdiri dari metode yang sama, maka dianggap satu kitab. Juga dengan pakar hisabnya harus terdiri dari berbagai metode hisab yang berbeda. Sama halnya dengan pendapat madzhab bisa dianggap kesepakatan atau perbedaan para imam ketika tediri dari berbagai madzhab, tidak dari satu madzhab. Dan pada maqalah kedua diatas tidak ada keterangan mengenai hal ini. Sedangkan fakta dilapangan ketika metode (madzhab) hisabnya berbeda, maka hasilnya juga berbeda. Seperti beredarnya sejumlah kalender ditengah-tengah masyarakat yang berbeda satu sama lainnya dalam menentukan penanggalan. Padahal sama-sama hasil hisabnya.

3-Pada maqalah kedua telah ditegaskan, “Perkara yang diambil dari al-Kitab (Qur’an) dan Sunnah itu yang harus diambi. Sedang yang menyalahi keduanya itu tertolak, meskipun berupa dalil”. Sedangkan perkara yang diambil dari Qur’an dan Sunnah itu hanya satu tanda yang tetap dan selamanya tidak berubah, yaitu melihat hilal atau menyempurnakan bilangan bulan Sya’ban tigapuluh hari. Dalam hal ini Syaikh Abdurrahman al-Jaziri berkata:

إذا ثبت الهلال بقطر من الأقطار
إذا ثبت رؤية الهلال بقطر من الأقطار وجب الصوم على سائر الأقطار، لا فرق بين القريب من جهة الثبوت والبعيد إذا بلغهم من طريق موجب للصوم. ولا عبرة باختلاف مطلع الهلال مطلقاً، عند ثلاثة من الأئمة؛ وخالف الشافعية. ...

“Ketika Hilal Telah Tetap Di Suatu Wilayah Diantara Wilayah Yang Lain.
Ketika melihat hilal telah tetap di suatu wilayah diantara wilayah-wilayah yang lain, maka puasa wajib atas seluruh (penduduk) wilayah-wilayah yang lain. Tidak ada perbedaan diantara wilayah yang dekat dengan yang jauh, dari sisi ketetapannya, ketika telah sampai kepada mereka melalui metode yang mewajibkan puasa. Sedangkan perbedaan tempat terbitnya hilal itu tidak diperhitungkan secara muthlak, miturut tiga imam besar. Berbeda dengan syafi’iyyah (pengikut madzhab Syafi’iy)…

هل يعتبر قول المنجم؟
لا عبرة بقول المنجمين، فلا يجب عليهم الصوم بحسابهم، ولا على من وثق بقولهم، لأن الشارع علق الصوم على أمارة ثابتة لا تتغير أبداً، وهي رؤية الهلال أو إكمال العدة ثلاثين يوماً أما قول المنجمين فهو إن كان مبنياً على قواعد دقيقة، فإنا نراه غير منضبط، بدليل اختلاف آرائهم في أغلب الأحيان، وهذا هو رأي ثلاثة من الأئمة، وخالفه الشافعية...

Apakah Perkataan Astrolog Itu Diperhitungkan?
Perkataan para astrolog itu tidak diperhitungkan. Maka mereka tidak wajib puasa dengan hasil hisabnya sendiri, dan tidak pula wajib puasa atas orang yang mempercayai perkataannya. Karena al-Syaari’ (pemilik syariat) telah mengaitkan puasa kepada satu tanda yang tetap dan selamanya tidak berubah, yaitu melihat hilal atau menyempurnakan bulan Sya’ban menjadi tigapuluh hari. Adapun perkataan para astrolog, meskipun telah dibangun diatas dasar menit, maka kami melihatnya tidak tepat, dengan dalil adanya perbedaan pendapat mereka dari masa kemasa. Dan ini adalah pendapat tiga imam besar, berbeda dengan syafi’iyyah…”. (Abdurrahman al-Jaziri, Tafshilul Fiqhi ‘Alal Madzaahibil Arba’ah, juz 1, hal. 520).

MAQALAH KETIGA :

Maqalah (3/a):
وفي التحفة : ووقع تردد لهؤلاء وغيرهم فيما لو دل الحساب على كذب الشاهد بالرؤية ، والذي يتجه منه أن الحساب إن اتفق أهله على أن مقدماته قطعية وكان المخبرون منهم عدد التواتر ردت الشهادة وإلا فلا اهـ.

Pada kitab al-Tuhfah: “Telah terjadi kebingbangan bagi mereka dan selain mereka. Terkait, ketika hisab menunjukkan atas kebohongan seorang yang bersaksi dengan melihat hilal. Pemecahannya adalah ketika pakar hisab telah sepakat bahwa pendahuluan hisabnya qath’iy dan mereka yang memberi khabar telah mencapai bilangan mutawatir, maka kesaksian itu ditolak, dan kalau tidak demikian, maka tidak ditolak”.

Maqalah (3/b):
قال سيدنا العلامة عبد الرحمن بن محمد العيدروس : سألت بعض مشايخي من المالكية عن مثل هذه المسئلة وهل استحالتها قطعي لديهم أي الحسَّاب أو لا ؟ فأجاب : بأنه قطعي وأن نقل كلام الأئمة وافراده بتصنيف ضائع لأنه ضروري عادي لهم اهـ.

Tuan kami ‘Alaamah Abdurrahman bin Muhammad al-‘Iidrus berkata: “Aku pernah bertanya kepada salah satu guruku dari malikiyyah mengenai masalah ini. Apakah ketiadk mungkinan melihat hilal miturut para pakar hisab itu qath’iy atau tidak? Lalu beliau menjawab, bahwasanya hal itu adalah qath’iy, dan bahwa mengutif perkataan para imam dan menyusunnya menjadi satu adalah tersia-sia, karena hal itu sudah menjadi kebutuhan tradisi mereka (ahli hasab)”.

Maqalah (3/c):
ونقل الشيخ العلامة عبد الله بن قطنة عن السيد العارف بالله علوي باحسن بأنه إن وجد في عصر خمسة من أهل الفلك واجتمع كلامهم في تحرير تلك المسئلة كفى ، وإن لم يوجدوا فكتبهم تغنى عنهم ، وإذا وجد اجتماع كلام خمسة في تصانيفهم كان ذلك من الخبر المتواتر اهـ. بمعناه.

Syaikh ‘Alamaah Abdullah bin Qathanah telah mengutif dari Sayyid al-Aarif billah Alwi Bahasan, bahwasanya ketika pada satu masa telah ada lima orang dari pakar astrolog dan perkataan mereka dalam penyeleksian masalah itu telah sepakat, maka mencukupi. Ketika mereka tidak ada, maka kitab-kitabnya mencukupi dari mereka. Dan ketika telah ada kesepakatan perkataan lima orang dalam karangan mereka, maka hal itu termasuk khabar mutawatir”, selesai dengan maknanya.

Maqalah (3/d):
وقال الشيخ عبد الله بن قطنة المذكور : ﴿ تنبيه ﴾ الذي يظهر ويتبادر من كلام ابن حجر في قوله : ولو دل الحساب الخ أنه مفروض في استحالة لا تعلم إلا من قول أهل الحساب.

Dan Syaikh Abdullah bin Qathanah tersebut berkata: “Peringatan: Sesuatu yang nampak dan mudah dipahami dari perkataan Ibnu Hajar pada perkataannya, “Dan ketika hisab menunjukkan…”, perkataan ini ditujukan kepada ketidak mungkinan melihat hilal yang tidak diketahui kecuali dari perkataan pakar hisab”. (al-Alaamah Abu Bakar bin Ahmad bin Abdullah al-Khathib al-Anshari at-Tarimi al-Hadlrami as-Syafi’iy, al-Fataawa an-Naafi’ah fii Masaailil Ahwaalil Waaqi’qh, hal. 36).

MENYINGKAP SYUBHAT:

1- Pada maqalah (3/a) dikatakan, “Telah terjadi kebingbangan bagi mereka dan selain mereka. Terkait, ketika hisab menunjukkan atas kebohongan seorang yang bersaksi dengan melihat hilal…”. Ini sangat jelas bahwa yang harus ditolak itu ketika yang bersaksi dengan melihat hilal itu hanya seorang (al-Syaahid dengan bentuk mufrod), tidak empat orang atau lebih, sebagaimana di Cakung. Dan sebagaimana diatas pakar hisab yang dianggap mutawatir itu harus terdiri dari banyak metode (madzhab) hisab, tidak dari satu metode.

2- Pada maqalah (3/b) juga sangat jelas bahwa keqath’ian dari ketidak mungkinan melihat hilal itu hanyalah kebutuhan tradisi para ahli hisab yang membuang pendapat para imam, bukan pendapat para imam madzhab. Sedangkan kita hanya boleh taqlid kepada para imam madzhab yang semuanya membuang pendapat ahli hisab, bukan kepada ahli hisab. Sedangkan maqalah (3/c) dan (3/d), maka bantahannya sama dengan diatas bahwa semuanya hanya miturut ahli hisab.

Dasar Penolakan Rukyat Cakung Yang Lain:

Mereka juga beralasan, karena empat orang yang bersaksi telah melihat hilal itu mengatakan, bahwa hilal yang terlihat itu posisinya sudah diatas dua derajat, yaitu dari tiga sampai empat derajat. Padahal ahli hisab dan astronomi sepakat bahwa posisi hilal itu berada dibawah dua derajat. Inilah yang dijadikan alasan untuk mendustakan mereka.

Menyingkap syubhat:
Sesungguhnya persoalan berapa derajat posisi hilal itu bukan hal substansial, karena substansi yang harus diambil dan dijadikan patokan adalah kesaksian dan sumpah telah melihat hilalnya, bukan berapa derajatnya. Seperti ketika kita memperlihatkan benda panjang kepada sejumlah orang, lalu kita bertanya kepada mereka: “Berapa sentikah panjangnya benda ini?”. Lalu mereka menjawab dengan jawaban berbeda yang tidak sesuai dengan ukuran panjang benda itu. Jadi mereka hanya memperkirakannya, bukan memastikannya. Mereka hanya salah dalam menentukan berapa panjangnya, tetapi mereka semua telah melihatnya. Jadi substansinya itu melihatnya. Inilah yang menjadi potokan.

Lalu kalau kenyataannya mereka berbohong?

Kebohongan mereka hanya berbahaya terhadap mereka sendiri, tidak kepada kita yang mempercayai kesaksian dan sumpah mereka. Justru kita berdosa ketika menolaknya, karena mereka sudah bersaksi dan bersumpah.

Apalagi para ahli hisab telah sepakat bahwa hilal itu sudah wujud (ada). Sedangkan sesuatu yang wujud itu pasti dapat terlihat. Tergantung mata dan penglihatan orang yang melihatnya. Juga tergantung posisi melihatnya, tepat atau tidaknya. Lebih-lebih para pakar rukyat di Cakung itu sudah biasa melakukan rukyat. Jadi bukan hanya di bulan Ramadlan, tetapi disetiap bulan. Dan mereka benar-benar ahli dalam hal melihat hilal. Sehingga sudah ahli dalam membedakan mana yang hilal dan mana yang bukan.
Faktanya, dunia telah mengawali puasanya pada hari Jum’at dengan rukyat globalnya. Ini adalah bukti bahwa kesaksian dan sumpah tim rukyat Cakung adalah benar, bukan dusta.

SENETRON SIDANG ITSBAT OLEH PEMERINTAH

Sudah bukan rahasia, sudah terlalu terang, sudah tidak bisa ditutup-tutupi dan sudah tidak bisa disangkal, bahwa pemerintah beserta dewan sidang itsbatnya sebenarnya jauh-jauh hari sudah mengerti bahwa berdasarkan ilmu hisab (astronomi) yang dipakainya hilal tidak akan dapat terlihat di Indonesia, karena berada dibawah dua derajat.

Oleh karena itu, Muhammadiyyah memutuskan untuk tidak hadir dalam persidangan itu, karena menganggapnya sia-sia dan menghamburkan uang rakyat, dan banyak alasan yang lain.

Oleh karena itu juga, jangan menyalahkan rakyat, ketika mereka berasumsi bahwa sidang itsbat yang digelar oleh pemerintah hanyalah senetron dan pekerjaan para artis untuk mendapatkan uang untuk menyalakan dapur Ramadlan dan persiapan lebaran.

Secara kasarnya “MELALUI AKTIFITAS RUKYAT DI SEJUMLAH LOKASI DAN SIDANG ITSBAT, UANG RAKYAT DIBUAT MAYORAN”.

Kalau tidak, maka buat apa semua itu dilakukan? Pormalitas untuk menolak rukyat?
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar