Faham Ahlus Sunnah wal Jama'ah
Dr. KH. Said Aqil Siradj, MA, at, all.; 19.800
Di antara enam agama besar di dunia, Islam tergolong agama dakwah. Agama dakwah yang dimaksud adalah agama yang di dalamnya
usaha menyebarluaskan kebenaran dan mengajak orang- orang yang belum mempercayainya dianggap sebagai tugas suci oleh pendirinya atau oleh para penggantinya. Semangat memperjuangkan kebenaran itulah yang tak kunjung padam dari jiwa para penganutnya sehingga kebenaran itu terwujud dalam pikiran, kata-kata, dan perbuatan. Semangat memperjuangkan kebenaran inilah yang mendorong umat Islam untuk menyampaikan ajaran-ajaran Islam kepada penduduk di tiap negeri yang mereka datangi, dan ini merupakan kewajiban agama bagi mereka yang disebut da’i atau muballigh.
Dengan semangat dakwah seperti itulah, pada abad ke-9 Dinasti Abbasiyah yang berpusat di Bagdad mengirimkan delegasi dakwah yang terdiri dari orangorang Arab yang berakidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Aswaja) dan bermadzhab Syafi’i ke wilayah Sumatera Utara. Pada tahun 1042 berdiri kerajaan Islam Samudera Pasai dan pada tahun 1025 berdiri Kerajaan Islam Aceh. Al-Malikus Shaleh merupakan kerajaan yang menganut faham Aswaja dan menganut madzhab Syafi’i. Bahkan menurut catatan sejarah, pada tahun 840 telah berdiri
kerajaan Islam pertama di Indonesia, yaitu Kerajaan Perlak. Dapat dipastikan bahwa masuknya agama Islam ke Indonesia sebelum tahun berdirinya kerajaan itu, karena ketika kerajaan itu berdiri sebagian besar penduduknya telah cukup lama memeluk agama Islam. Sementara Islam masuk ke Pulau Jawa diperkirakan pada akhir abad ke-14 atau awal abad ke-15. Pada saat itu, dengan dukungan Walisongo, Raden Patah mendirikan Kerajaan Demak. Berkat dakwah yang dilakukan Walisongo, Islam berkembang pesat sehingga dalam waktu yang relatif singkat hampir seluruh masyarakat Jawa memeluk agama Islam. Menyusul kemudian berdiri beberapa kerajaan Islam di Ternate, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Nusa Tenggara. Pada abad ke-16, Islam telah menjadi agama yang dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia.
Perkembangan Islam yang berhaluan Aswaja bertambah pesat ketika generasi penerus Walisongo dan Islam lainnya mengembangkan strategi dan pendekatan penyebaran Islam melalui lembaga pesantren. Pesantren tampil dan berperan sebagai pusat penyebaran dan pendalaman agama Islam secara Iebih terarah. Dari pesantren inilah lahir lapisan masyarakat dengan tingkat kesadaran dan pemahaman agama yang relatif utuh dan lurus.
Seiring dengan dibukanya Terusan Suez tahun 1869, terjadi kontak langsung antara umat Islam di Indonesia dan dunia Islam Iainnya, termasuk negaranegara Arab. Tidak saja melalui jamaah haji, tetapi juga melalui sejumlah pelajar Indonesia di negara-negara Arab, sehingga perkembangan agama dan ilmu pengetahuan Islam makin pesat.Seiring dengan perkembangan pengetahuan Islam melalui kontak langsung tersebut, telah masuk faham-faham Islam Iainnya yang bertentangan dengan faham Aswaja yang dianut oleh mayoritas umat Islam Indonesia.
Oleh karena itu, untuk membendung arus faham-faham lain tersebut dan untuk membentengi mayoritas umat Islam Indonesia, para ulama Aswaja wajib bangkit secara proaktif mendirikan jam’iyyah (organisasi) yang di kemudian hari dikenal dengan Nahdlatul Ulama yang berarti kebangkitan ulama. Nama yang dipilih adalah kebangkitan, bukan sekadar perkumpulan atau perhimpunan. Yang bangkit adalah para ulama yang menjadi panutan umat. Jam’iyyah Nahdlatul Ulama didirikan pada tanggal 16 Rajab 1334 H bertepatan dengan tanggal 31 Januari 1926 di Surabaya.
Nahdlatul Ulama adalah jam’iyyah diniyyah Islamiyyah berdasarkan faham Aswaja dan menganut salah satu dari madzhab empat: Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Nahdlatul Ulama bertujuan berlakunya ajaran Islam yang berhaluan Islam Aswaja dan menganut salah satu madzhab empat di tengah-tengah kehidupan di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Setiap warga negara Indonesia yang menganut faham ini hendaknya memahami dan mendalami faham ini. Untuk itu, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama menyusun buku yang terdiri dari muqaddimah, empat bab isi, dan khatimah.
Bab I berisi pengertian dan sejarah lahir Aswaja. Melalui bab ini pembaca dapat memahami definisi atau apa yang dimaksud dengan Aswaja, baik yang bersifat ishtilahi maupun yang bersifat substantif. Juga memahami dalil-dalil yang dipergunakan Aswaja sebagai faham yang menyelamatkan umat Islam dari neraka. Di samping itu, pembaca dapat mengetahui ruang Iingkup Aswaja yang secara garis besar meliputi aspek akidah, fiqih dan akhlak. Selain itu juga latar belakang lahirnya Aswaja yang secara terminologis lahir seiring dengan munculnya madzhab kalam Al-Asy’ari dan Al- Maturidi, yang tidak dapat dipisahkan dengan mata rantai sebelumnya, dimulai dan periode Ali ibn Abi Thalib. Akhirnya melalui bab ini pembaca dapat memahami pola (manhaj) berpikir Aswaja.
Bab II mengenal faham Aswaja yang meliputi akidah, syari’ah, tashawuf dan akhlak. Melalui bab ini pembaca dapat memahami faham Aswaja mencakup pengertian iman, rukun iman, ciri khas akidah Aswaja dan khalifah sesudah Rasulullah SAW menurut Aswaja. Demikian pula pembaca dapat mengetahui sumber-sumber hukum Islam menurut Aswaja, disertai alasan-alasan dan dalil-dalilnya. Di samping itu, pembaca dapat mengetahui faham Aswaja tentang sumber-sumber keteladanan bagi umat Islam dalam melaksanakan berbagi kehidupan, termasuk tashawuf dan akhlak.
Bab III mengenal NU dan Aswaja. Melalui bab ini pembaca dapat mengetahui penyebaran Islam di Indonesia, yang diperkirakan pada abad ke-7 dan diikuti berdirinya pusat-pusat kekuasaan dalam bentuk kerajaan Islam di berbagai wilayah Indonesia, sehingga agama Islam dianut mayoritas penduduk Indonesia. Umat Islam di Indonesia pada umumnya menganut madzhab Aswaja. Akhirnya para ulama bangkit mendirikan jam’iyyah Nahdlatul Ulama untuk membentengi warga Ahlus Sunnah wal Jama’ah dari arus faham lain yang bententangan dengan Aswaja. Kemudian pembaca juga dapat memahami Aswaja yang dianut oleh jam’iyyah NU.
Bab IV mengenal aktualisasi Aswaja yang meliputi aktualisasi wawasan Aswaja, aktualisasi materi Aswaja, perspektif sosial politik, perspektif hak asasi manusia, perspektif ekonomi, perspektif budaya, perspektif pertahanan dan keamanan, perspektif pendidikan, perspektif ilmu pengetahuan dan teknologi, perspektif sumber daya manusia, dan perspektif lingkungan hidup.
Melalui bab ini pembaca dapat mengkaji bentuk-bentuk pemerintahan yang sesuai dengan Aswaja. Tentu saja tipologi masa Rasulullah SAW dan Khulafa’ur Rasyidin merupakan acuan utama dalam bentuk politik dan bernegara. Yang direalisasikan dalam suatu negara adalah prinsip-prinsip al-‘adalah (keadilan), al-hurriyah (kebebasan), al-musawah (persamaan), dan asy-syura (musyawarah). Mengenai hak asasi manusia, pembaca bisa mengkaji ushulul khamsah (lima prinsip pokok) tentang jaminan agama, jiwa, akal, harta, kehormatan dan keturunan. Di samping itu, pembaca dapat mengkaji prinsip perekonomian Aswaja, religiusitas seni budaya, seni sebagai sarana pendidikan dan dakwah, pandangan ulama terhadap seni budaya dan seni sebagai sarana perjuangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar