Senin, 24 Januari 2011

MASALAH GIBAH

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah " Orang yang membantah ahli bidah adalah mujahid”

Berkata sebagian ulama:


Celaan yang bukan ternasuk ghibah ada pada enam perkara:
Yang terzalimi,
Yang menjelaskan(ciri-ciri seseorrang),
Yang memperingatkan manusia dari (kejahatan atau kebidahan) seseorang
Yang terang-terangan berbuat fasik
Yang meminta fatwa
Dan orang yang minta pertolongan untuk melenyapkan kemungkaran

Telah berkata An-Nawawi
Bab ghibah yang diperbolehkan
Ketahuilah bahwa ghibah itu diperbolehkan untuk tujuan yang benar dan syar’I dimana tidak mungkin tercapai tujuan-tujuan syar’I itu kecuali dengannya. Adapun sebabnya ada enam
1. At-Tazhallumu, orang yang terdzalimi.
2. meminta pertolongan untuk mengubah kemungkaran, dan mengembalikan orang yang bermaksiat ke jalan yang benar.
3. Dalam rangka meminta fatwa
4. memperingatkan kaum muslimin dari kejelekan dan menashihati mereka
5. orang yang terang-terangan berbuat fasik dan bid’ah
6. dalam rangka mengenalkan. Misalnya, apabila seseorang terkenal dengan sebuah julukan seperti Al-A’masy (yang kabur penglihatannya), Al-A’raj (yang pincang), dan Al-Asham(yang tuli), maka boleh menyebut mereka dengan julukan-julukan itu

kemudian An-Nawawi berkata : “ inilah enam sebab yang telah disebutkan oleh para ulama, hampir seluruhnya sudah disepakati, dan dalil-dalilnya adalah hadits-hadits yang shahih lagi masyur.

Kemudian syaikhul Islam membahas tentang wajibnya membicarakan orang-orang yang terjerumus dalam kekeliruan atau kedustaan dalam penukilan hadits, dan bahwa hal itu adalah untuk kemaslahatan agama yang bersifat umum dan khusus.
Mengawali pembicaraan yang ditujukan kepada ahli bid’ah dari kalangan orang yang sering melontarkan pemikiran-pemikiran yang menyelisihi Al-Qur’an dan As-Sunnah, beliau mengatakan :
“bahwa menerangkan keadaan mereka dan memperingatkan umat dari mereka adalah kewajiban yang telah disepakati kaum muslimin, sehingga pernah ditanyakan kepada Imam Ahmad bin Hambal : “manakah yang lebih anda sukai, seorang yang menjalankan puasa, shalat dan I’tikaf, ataukah orang yang membicarakan tentang ahli bid’ah?” Al-Imam Ahmad menjawab : “ apabila dia berpuasa, shalat dan I’tikaf , sesungguhnya amalan itu untuk dirinya sendiri, sedangkan apabila dia berbicara tentang ahli bidah, maka itu untuk kaum muslimin.”

Maka jelaslah bahwa manfaat perbuatan ini adalah untuk agama kaum muslimin, dan termasuk kategori jihad di jalan Allah. Dimana menyucikan jalan Allah , agama, manhaj, dan syariat-Nya, serta menolak penyimpangan dan permusuhan ahli bid’ah adalah fardhu kifayah sesuai dengan kesepakatan ulama kaum muslimin.

Kalau bukan karena orang yang diutus Allah untuk membela agama, niscaya rusaklah agama ini. Kerusakan yang ditimbulkan ahli bid’ah jauh lebih besar dari berkuasanya musuh ketika perang. Karena musuh apabila menang dan berkuasa, mereka tidak merusak hati, jiwa, dan ajaran agama kecuali di kemudia hari setelah-nya. Adapun ahli bid’ah dan orang-orang munafik, maka yang mereka rusak pertama kali adalah hati (agama) seseorang.

(Al-Mahajjatu al-Baidha’u fi Himayati as-Sunnati al-Gharra’I min Zallati Ahli al- Akhtha’I wa Zaighi Ahli al-Ahwaa’I, oleh Syaikh DR.Rabi’ bin Hadi Umair Al-Madkhal>>>>>>...... inilah dalil pembenaran mereka (TALAFI) tentang metode dakwah menghujat orang (ulama) yang telah wafat.dimaknai secara serampangan dan yang jelas asal COPASS....!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar