Oleh: Tri Wibowo BS • 3 September 2009 jam 22:34
Ulasan atas buku “Pemikiran Progresif Dalam Kajian al-Qur’an”, karya Dr. Dr Nur Kholis Setiawan.
Ketika Samuel Huntington menulis tentang “clash of civilization,” benturan antara Islam vs. Barat, banyak sarjana Muslim menolak tesis itu. Namun, ironisnya, sebagian kalangan Islam sendiri justru “mengaktualisasikan” tesis itu, terlebih pasca serangan ke gedung WTC pada 11 September 2001. Sebagian dari umat Islam bahkan menutup pintu dialog dan lebih mengedepankan “tafsir kebencian” yang tidak dilandasi pada kaidah akademik yang kuat dan bertanggung jawab. Misalnya, belakangan ini kita dapat dengan mudah menjumpai tulisan yang bernada antipati dan kebencian, bahkan mengkafirkan, sesama Muslim, di berbagai media. Setiap orang Islam yang mengemukakan pemikiran yang mereka anggap tidak sesuai dengan interpretasi mereka sendiri, akan dengan segera dituduh sesat, atau “antek Barat,” seolah-olah segala hal yang berasal dari, atau setidaknya berbau, Barat adalah najis yang mesti ditolak. Yang lebih parah, karena mereka enggan, atau barangkali karena memang tak mampu, berdialog secara sehat, mereka tak segan menggunakan cara-cara fitnah dan kekerasan yang merendahkan martabat manusia.
Mereka yang menolak kebebasan berpikir ini barangkali lupa bahwa pemahaman mereka tentang Islam pada umumnya, dan Al-Qur’an pada khususnya, bukanlah pemahaman yang absolut kebenarannya. Tentu saja mereka boleh berpendapat, tetapi itu tidak berarti pendapat mereka adalah yang paling benar. Mengabsolutkan pendapat tentang Al-Qur’an, dan menolak pendapat yang berbeda, sama artinya dengan menempatkan pendapat (tafsir/interpretasi) manusia sebagai sesuatu yang sejajar atau identik dengan wahyu Al-Qur’an itu sendiri – dan ini tentu saja adalah sebuah arogansi atau kepongahan intelektual yang luar biasa.
Corak keagamaan yang sempit seperti ini – yang oleh Arkoun disebut ortodoksisme yang selalu menganggap penafsiran orang lain pasti salah, bid’ah atau sesat – berhubungan erat dengan stagnasi dan kemunduran umat. Islam ortodoks melahirkan dogmatisme yang bisa dijumpai di banyak bidang epistemologi, seperti tafsir, teologi, dan sebagainya. Pemikiran bebas dan progresif tidak mungkin lahir dari ortodoksi semacam ini. Oleh karena itu, sebagian pemikir yang progresif dan “liberal” berusaha merombak struktur ortodoksisme. Selama sistem ortodoks itu masih berkuasa, umat Islam akan terus berada dalam atmosfir abad pertengahan yang kurang kondusif bagi kemajuan intelektual dan peradaban.
Mengingat hal itu, di sinilah salah satu makna penting dari buku karya Dr. Nur Kholis Setiawan ini, yang membela kebebasan berpikir dan akademik yang belakangan ini agak meredup sebagai akibat dari tekanan kelompok yang radikal tersebut. Melalui studi kasus terhadap interpretasi teks al-Qur’an, Dr. Nur Kholis menunjukkan bahwa pemikiran yang bebas dan progresif sesungguhnya adalah anak kandung peradaban Islam. Beliau menjelaskan beberapa akar pemikiran progresif secara serius dan memenuhi standar metodologi keilmuan. Bagi mereka yang tidak atau belum memiliki akses langsung ke kajian karya-karya tafsir klasik dan kontemporer, buku ini amat membantu sebagai semacam jembatan penghubung.
Terlepas dari apakah seseorang mendukung atau menolak pemikiran progresif, yang jelas kajian perkembangan pemikiran Islam pada umumnya, dan kajian ilmu Al-Qur’an pada khususnya, telah menjadi sesuatu yang penting bagi revitalisasi pemikiran Islam. Salah satu sumbangan epistemologis para pemikir progresif, termasuk, Dr. Nur Kholis Setiawan, adalah pandangan “alternatifnya” terhadap tafsir Al-Qur’an yang lebih “membumi” dan relevan dengan konteks kekinian.
Salah satu problem analisis yang secara khusus amat menarik yang disajikan oleh Dr. Nur Kholis adalah pentingnya reinterpretasi atas teks Al-Qur’an dengan metode hermeneutika yang mempertimbangkan konteks penafsir dan tata-situasi di mana tafsir itu diberikan. Penulis memaparkan sejumlah pendekatan metodologis, termasuk semantik dan semiotika, kritik historis dan hermeneutika. Dalam pendekatan hermeneutika ini, teks dipandang bukan sebagai sebuah “obyek yang terberi” (given object), melainkan merupakan salah satu fase dari proses penyampaian pesan atau komunikasi. Dalam kasus Al-Qur’an, setidaknya ada dua dimensi proses penyampaian: vertikal dan horisontal. Dimensi vertikal adalah proses komunikasi antara Allah dengan Nabi Muhammad. Komunikasi vertikal ini membentuk apa yang diistilahkan oleh Nasr Abu Zayd sebagai diskursus (discourse) yang berupa ayat dan surat. “Diskursus” ini pada awalnya memiliki tata-urutan tersendiri sebelum akhirnya urutan itu “diubah” ke dalam bentuk mushaf Al-Qur’an yang disusun pada masa Khalifah Utsman.
Tetapi, jika Al-Qur’an dipahami dalam kerangka “teks” saja, maka secara tersirat ada konsep “pengarang” – yakni Allah. Hal ini berarti pula bahwa setiap penafsir harus mencari kerangka dasar yang menghubungkan variasi pemahaman mereka dalam satu kesatuan, di mana kerangka dasar itu mesti diklaim universal, yakni sebagai klaim kebenaran abadi. Tetapi ini menyebabkan Al-Qur’an akan diletakkan di bawah ideologi penafsirnya. Jadi, bagi seorang penafsir yang “horison pengetahuannya” adalah literal atau fundamentalis, maka Al-Qur’an akan menjadi teks fundamentalis yang kaku; bagi penafsir yang “horison pengetahuannya” adalah feminis, teks Al-Qur’an akan menjadi teks feminis.
Karena itu, Abu Zayd melangkah lebih jauh dengan memasukkan analisis atas dimensi horisontal Al-Qur’an, yakni penyebaran pesan Al-Qur’an oleh Nabi Muhammad kepada pengikutnya setelah beliau menerima wahyu. Dalam dimensi inilah pemaknaan terhadap teks suci itu akan dipengaruhi oleh kondisi ruang dan waktu (yakni situasi sosial, politik, ekonomi, dan sebagainya). Maka, pemaknaan atas Al-Qur’an pasca Nabi selalu lahir dari dialog antara teks dengan konteks, yakni antara teks literal dengan konteks tata-situasi dan latar belakang si pemberi makna atau penafsir. Hal ini pada gilirannya menyebabkan aplikasi dari pesan teks suci selalu didasarkan pada konteks ruang dan waktu di mana pemaknaan dan penafsiran itu diberikan. Karena ruang dan waktu senantiasa berubah, maka pesan yang mesti diaplikasikan pada masa penafsiran bukanlah makna literal, melainkan makna “kontekstual” dari pesan – atau meminjam istilah Gadamer, yang diaplikasikan adalah meaningful sense dari suatu pesan, yakni substansi dari pesan literal yang bersifat kontekstual dan fleksibel. Karenanya, menurut Abu Zayd, untuk memahami dimensi horisontal ini kita perlu menggeser kerangka dari “Al-Qur’an sebagai teks” menjadi “Al-Qur’an sebagai diskursus (discourse).” Itu berarti bahwa tafsir Al-Qur’an pada dasarnya adalah hasil dari dialog antara penafsir beserta “horison pengetahuannya” (latar kultural, sosial, politik, pengetahuan, dan sebagainya) dengan “horison” teks suci itu sendiri.
Mempertemukan Dua Horison
Dalam diskursus filsafat, kajian dialog antara teks dengan si penafsir ini akan membawa kita pada dua kajian yang amat penting: Analisis atas seluk-beluk linguistik/bahasa dengan segala pernak-perniknya dan, tentu saja, analisis epistemologis. Fakta bahwa Al-Qur’an diturunkan dalam bentuk “bahasa”, yang dalam hal ini adalah bahasa Arab, membuat kita semestinya sadar bahwa teks (bahasa) adalah sebentuk “kode” atau “saluran” yang memperantarai pesan kebenaran tertinggi (wahyu) kepada manusia yang berada di dunia empiris. Dari sini tampak ada sebentuk “kesenjangan epistemologis” yang menjadi perhatian para ulama dan tokoh-tokoh pemikiran dan filsafat agama. Wahyu (Al-Qur’an), yang diklaim sebagai berasal dari Allah Yang Maha Segalanya, tentunya memuat makna kebenaran yang tiada batas; dengan kata lain, Al-Qur’an mengandung makna transenden sekaligus imanen. Persoalannya adalah bagaimana akal-budi manusia yang serba terbatas ini bisa memahami makna dari pesan Ilahiah yang tak terbatas ini? Secara epistemologis, adalah absurd jika kita menggunakan kaidah epistemologis yang dipakai manusia (yang selalu beresiko memuat kesalahan) untuk memahami sebuah pesan abadi yang “latar horisonnya” adalah transenden atau ilahiah. Tetapi itu bukan berarti bahwa kita tidak punya peluang untuk mendapatkan pemahaman itu. Di sinilah peran bahasa Al-Qur’an sebagai “kode” atau “saluran” yang membuat kita memiliki akses ke makna di balik teks-teks tersirat. Teks Qur’an, sebagai sebuah pengetahuan, tentu memiliki bentuk atau struktur tertentu dan juga konteks yang menjadi “kerangka duniawi” bagi “pesan ilahiah” tersebut. Jadi, bahasa Qur’an dan dunia (alam dan manusia) dapat dipahami dari segi konstituennya (unsur-unsur penyusunnya) dan dari segi mikrostrukturnya. Karenanya, struktur bahasa Al-Qur’an, yang paling tidak dalam aspek lahiriahnya adalah bagian dari “bahasa manusia,” pasti mencerminkan atau menggambarkan struktur esensial dari dunia. Kalimat adalah representasi dari suatu keadaan atau pengetahuan tertentu.
Tetapi makna bukan hanya tergantung pada realitas empiris. Objek bukan hanya makna literal dari pesan atau tanda, tetapi lebih merupakan perluasan dari makna. Seperti dijelaskan dalam buku ini, ada beberapa kata yang mengacu pada obyek tertentu yang memiliki makna yang meluas. Misalnya, kata “kuffar,” tidak hanya berarti “menutupi,” tetapi juga bisa berarti “ingkar” atau “petani.” Dalam hal ini bahasa memiliki banyak fungsi. Kata adalah seperti perangkat atau alat yang kita gunakan untuk berbagai tujuan yang berbeda dalam beragam konteks yang berlainan. Bahasa bukan sekedar untuk merepresentasikan atau mendeskripsikan, tetapi juga untuk memberi perintah, mengajukan pertanyaan, mengejek, memuji, dan sebagainya. Jadi, makna suatu kata akan tergantung pada konteks penggunaannya, konteks tujuan dari penggunaannya, dan konteks dari si pengguna kata itu. Jadi pemahaman kita atas makna teks wahyu tidak bisa dilepaskan dari aktivitas dan perilaku penafsir atau pengguna bahasa itu sendiri, yang mencerminkan dan menjelaskan apa-apa yang dipahaminya. Kemudian, karena individu yang menafsirkan makna (atau memahami) teks dalam kenyataannya berada dalam konteks ruang dan waktu tertentu, maka sejarah tafsir, jika dilihat secara keseluruhan, adalah sebentuk “produk sosial-budaya” (Al-muntaj ats-staqafi).
Berdasarkan konsep al-muntaj ats-tsaqafi ini dapat dikatakan bahwa makna hanya dapat dicerap atau diinterpretasikan dan direinterpretasikan dalam situasi tertentu. Itu berarti bahwa tafsir seseorang atas suatu teks, dalam dirinya sendiri, tidak mengandung “struktur” objektif. Kemampuan seseorang dalam menafsirkan jelas dipengaruhi oleh “horison” yang dibawanya, yang berarti selalu ada unsur subyektivitas yang mungkin lolos dari jaring objektivitas. Dalam bahasa yang lebih teknis, sebuah tanda boleh jadi menunjukkan sesuatu yang berbeda dari yang mungkin dipahami oleh si penafsir. Atau, boleh dikatakan bahwa apa yang dipahami oleh si penafsir belum tentu sama dan sebangun dengan pemahaman dari si “Pengarang” teks wahyu. Jadinya, ada jejaring asosiasi (penisbahan) tanda (teks) pada suatu makna yang berasal dari berbagai konteks periode dan lokasi geografis yang sampai kini masih terus “beredar” dan sebagian menyelinap dalam bangunan tafsir yang berbeda-beda.
Itu berarti bahwa apa yang dipahami oleh si penafsir pada masa tertentu hanya dapat diinterpretasikan secara relatif akurat oleh orang itu sendiri pada waktu tertentu itu. Namun interpretasi tafsir atau pemahaman ini tidak bisa diklaim sebagai satu-satunya tafsir yang paling otoritatif dan karenanya tidak ada tafsir yang paling obyektif atau paling benar secara ontologis. “Lenyapnya” makna obyektif mempengaruhi setiap konsep yang kita pahami dan juga berpengaruh signifikan terhadap konsep kita tentang teks dan tentang makna religiusitas. Lapisan-lapisan subyektivitas yang melarutkan obyektivitas ini tentu saja adalah sebuah keniscayaan historis. Jadinya, sejarah tafsir dan interpretasi atas Al-Qur’an adalah sejarah dialog pemikiran dan pengkajian, baik pada level filosofis maupun praktis.
Tetapi sejarah tafsir dan pemikiran dalam Islam itu sendiri tidak selalu berjalan mulus dan lancar. Seperti digambarkan oleh Dr. Nur Kholis dalam buku ini, ada masa-masa di mana terjadi benturan-benturan pemikiran, dan bahkan sampai kasus kekerasan atas nama tafsir. Namun benturan itu tidak selamanya bersifat negatif. Dapat dikatakan bahwa dalam sejarah pemikiran Islam terdapat diskontinuitas radikal yang membuat arus gagasan lama menjadi tak bisa dipertahankan. Tafsir-tafsir awal, terutama selama Rasulullah masih hidup, lebih banyak didasarkan pada asumsi dan keyakinan yang relatif homogen. Namun dalam perkembangannya, heterogenitas pun terjadi lantaran pertemuan umat Islam dengan kebudayaan-kebudayaan di luar Islam yang telah berkembang sejak lama, seperti Persia, Yunani hingga ke India dan Indonesia. Namun karena kecepatan perubahan konteks sosial dan budaya, terutama sejak awal abad 19, sulit diimbangi dengan pengkajian akademik yang memadai, maka ada masa-masa ketika tafsir-tafsir klasik dianggap kurang relevan dengan situasi terbaru. Namun, untungnya, pada titik di mana khazanah tafsir lama belum mencakup problem kontemporer, dan karena ada kebuntuan kajian intelektual, muncullah semacam revolusi intelektual dalam dunia tafsir yang berakar pada situasi riil di dalam kerangka sosial, politik, ekonomi dan kebudayaan. Terjadi semacam pergeseran “paradigma” tafsir yang cukup signifikan setelah kaidah ilmiah dan sains berkembang demikian pesatnya, seperti yang akan dipaparkan dalam buku ini.
Demikianlah, fakta-fakta historis dan berbagai gagasan tafsir dan pemikiran tentang Al-Qur’an yang dipaparkan dengan apik oleh Dr Nur Kholis dalam buku ini dengan jelas menunjukkan perkembangan dan kekayaan pemikiran Islam yang terus maju dan dinamis sesuai dengan perkembangan zaman. Para ahli tafsir sejak masa Islam klasik hingga kontemporer telah menyuguhkan tafsir atau hermeneutika yang demokratis dan terbuka untuk dikritisi dan diperdebatkan secara intelektual dan akademik.
Bersikap demokratis dan terbuka dalam memahami teks suci adalah keniscayaan, sebab ini berhubungan dengan makna hidup kita sebagai umat Islam. Meminjam ungkapan Abu Zayd (2006), “Jika kita serius ingin membebaskan pemikiran religius dari manipulasi kekuasaan, entah itu kekuasaan politik, sosial, ekonomi atau kepentingan pribadi lainnya, maka kita perlu menyusun hermeneutika yang demokratis.” Lantas mengapa mesti “demokratis”? Sebab, dalam atmosfir yang demokratis sajalah ada kemungkinan untuk berdialog, bertukar pengetahuan dan pengalaman, serta mengungkap kesalahan dan mengoreksinya.
* Peresensi adalah Tri Wibowo BS/Mbah Kanyut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar