oleh Anis Masduki pada 20 November 2010 jam 15:10
Al-Taqwim; Gramatika Arab Dari Mlangi
Muhammad Anis Mashduqi
....fa rutbah al-ijtihad mutawaqqifah ’alaihi la tatimmu illa bihi.
(Abu Al-Barakat)
Prolog
Khazanah keilmuan Islam Nusantara yang diakui sangat kaya, pada kenyataannya belum mendapatkan apresiasi yang sepantasnya. Baik apresiasi itu dalam bentuk riset deskriptif-analitik maupun riset pengembangan. Pantas apabila khazanah Islam kontemporer di Nusantara lebih banyak didominasi studi gagasan dan pemikiran tokoh-tokoh Islam Timur Tengah maupun Barat dan Eropa. Khazanah Islam kontemporer di Nusantara lebih merupakan bentuk pemutusan hubungan dari capaian khazanah klasik Islam di Nusantara daripada sebuah bentuk kritik internal maupun kontinuitas internal.
Pembaharuan, di manapun berada, tidak bisa dilakukan dengan melakukan transplantasi intelektual sehingga suatu bangsa akan terasing ketika terevakuasi dari akar budayanya. Pembaharuan, menurut pembaharu-pembaharu besar Islam sebagaimana Hasan Hanafi dalam Al-Turats wa Al-Tajdid, Arkoun dalam Tarikhiyyah Al-Fikr Al-Arabi Al-Islami, Al-Jabiri dalam Al-Turats wa Al-Hadatsah, Jamal Al-Banna dalam Nahwa Fiqh Jadid dan apa yang dikenal dalam nomenklatur Pribumisasi Islam oleh Abdurrahman Wahid, harus dilakukan dengan rekontruksi dari dalam (al-tajdid min al-dakhil). Kritik harus dilancarkan sekeras-kerasnya atas segenap proyek pembaruan yang memancang Barat dan Eropa sebagai satu-satunya acuan modernisasi dan kemajuan. Bahkan pembaharuan yang mendaulat Timur dan Arab sebagai referensi keberislaman yang tunggal perlu diluruskan.
Terkait dengan kajian Islam Nusantara terkhusus yang dilakukan oleh peneliti Nusantara mengalami perkembangan yang cukup berarti. Islah gusmian adalah salah satu dari sedikit peneliti yang concern dengan tradisi Nusantara. Ia tampil dengan melakukan tipologisasi dan historiografi karya-karya tafsir Nusantara. Kajian yang amat sangat berharga ini, hemat penulis, harus ditindaklanjuti dengan melakukan pelacakan karya-karya yang ada dan penerbitan kajian dalam bentuk tahqiq, tahrij dan ta’liq. Arah pengembangan kemudian bisa berupa komentar (syarkh) maupun ikhtisar (khulashah/ikhtishar) dan komentar atas komentar (khasiyah) ataupun menstimulasi karya-karya dengan orisinalitas pemikiran baru yang lebih kuat. Jika tahqiq, tahrij dan ta’liq berguna untuk menjadikan teks-teks klasik Nusantara bisa diakses dengan mudah, maka syarkh, khulashah dan khasiyah sudah masuk ketahap pengembangan relatif karena proyek ini sangat tergantung kepada kapasitas seseorang dalam memberikan ulasan kebahasaan, juga bisa menampilkan pengkayaan dari disiplin yang sama maupun dari perspektif disiplin yang lain.
Variabel terpenting di dalam menyikapi karya-karya ulama Nusantara adalah dengan memposisikan tradisi itu dalam konteks dinamika sejarahnya. Umat Islam pada umumnya dan Nusantara pada khususnya seringkali terjebak pada kemungkian dua permasalahan; Pertama, mereka kehilangan kesadaran sejarah untuk mengenal diri mereka sendiri, akar-akar dan eksperimentasi-eksperimentasi masa lalu mereka yang cemerlang. Kedua, mereka salah di dalam memposisikan tradisi mereka sebagai bagian dari fenomena sejarah. Padahal dengan memahami dan mendudukkan seorang tokoh dan sebuah karya pemikiran dalam konteks sejarahnya, seorang peneliti diharapakan mampu menempatkan diri pada konteks dirinya sendiri dengan berpijak pada capaian-capaian klasik yang nota bene mampu menggerakkan dinamika intelektual dan sosial pada masanya.
Tulisan ini tidak lain sekedar upaya menjemput bola atas umpan matang yang diberikan saudara saya, Irwan Mashduqi, untuk mengapresiasi karya-karya Kyai Nur Iman, sosok yang sekarang ini hanya dikenal di kalangan orang kampung dan peziarah-perziarah yang rutin melakukan lawatan ke makamnya. Tulisan ini berusaha menghadirkan atau bahkan menghidupkan kembali Kyai Nur Iman bukan sebagai sosok mistis, akan tetapi eksplorasi sisi lain atas kyai yang padat ilmu pengetahuan dan mewariskan karya-karya ilmiah cukup kuat di bidangnya, salah satunya adalah kitab Al-Taqwim yang akan menjadi obyek kajian penulis kali ini. Dus, tulisan ini sebetulnya adalah cara lain untuk mengenang jasa-jasa kyai berdarah biru pendiri kampung Mlangi ini di tengah-tengah masyarakat Mlangi sendiri pada khususnya dan umat Islam pada umumnya.
Kyai Nur Iman; Antara Gramatika, Morfologi dan Mistisisme
Gramatika Arab kontemporer diramaikan dengan lahirnya karya-karya semisal Al-Nahw Al-Wadhiz karya Ali Al-Jarim dan Mustafa Amin, Al-Nahw Al-Wafi karya Abbas Hasan dan Jami’ Al-Durus Al-Arabiyyah karya Mustafa Ghalayaini. Jika sistematika dan contoh-contoh kitab gramatikal tradisional dirasa rumit dan terlalu konvensional maka Al-Nahw Al-Wadhih hadir menawarkan kejelasan, kemudahan sistematika dan aktualitas eksemplar contoh lengkap dengan manual pembelajaran. Sedangkan Al-Nahw Al-Wafi dan Jami’ Al-Durus menawarkan komprehensifitas di samping sistematika yang diklaim lebih mudah dan logis. Karya-karya itu lahir karena semangat zaman yang mengilhami dihajatkannya pendekatan baru yang memudahkan siapa pun, terutama masyarakat awam, yang hendak mengkaji gramatika dan morfologi Arab. Ketiganya hadir pada abad ke 20 M di mana isu pembaruan Islam sedang galak-galaknya diupayakan pada setiap lini keilmuan Islam.
Lahirnya karya-karya itu seakan hendak mengembalikan kepada salah satu tujuan awal dikontruksinya gramatika Arab (nahwu) oleh Abu Al-Aswad Al-Duwali, yaitu memberikan akses belajar bahasa Arab kepada kalangan mawali (non Arab) di samping kebutuhan masyarakat Arab sendiri akan pentingnya pembakuan metode penulisan dan pengucapan bahasa Arab. Kata nahwu sendiri diambil dari statemen Al-Duwali, “ma ahsan hadza al-nawh alladzi nahautuhu” meski pada awal formasinya, ilmu ini lebih akrab disebut sebagai al-ulum al-arabiyyah. Menurut Al-Syaikh Muhammad Tanthawi, dinamika gramatika Arab melalui empat babakan sejarah yaitu: thur al-wadh wa al-takwin (fase peletakan dan formasi di Bashrah), thur al-nusyu wa al-numuw (fase pertumbuhan di bashrah dan Kufah), thur al-nadhaj wa al-kamal (fase kematangan dan penyempurnaan di Bashrah dan Kufah) dan thur tarjih wa al-basth fi al-tashnif (fase tarjih, peluasan dan pengembangan di Baghdad, Andalusia, Mesir dan Syams). Hemat penulis fase terakhir masih berjalan sampai sekarang, termasuk karya-karya bentuk syarkh (komentar), khulasah (ikhtisar) dan khasyiah (komentar atas komentar) yang dilakukan seraya ekspansi dan dinamika Islam yang merangsek ke seluruh belahan dunia.
Kyai Nur Iman hidup pada abad ke 18 M di mana Islam tradisional belum bersentuhan dengan wacana modernitas Islam. Pengetahuan keislaman yang hanya dimiliki oleh elit intelektual dan santri sebagai bekal dakwah membentuk kesadaran Kyai Nur Iman ke arah elitisme pengetahuan. Buku gramatika yang ia anggit memang tidak diperuntukkan bagi kalangan awam akan tetapi santri yang concern dalam keilmuan Islam dan diniatkan sebagai buku pegangan akademik. Bahkan kitab Al-Taqwim yang ia tuliskan, hemat penulis, lebih tepat menjadi acuan santri pada level advance atau minimal intermediate. Kya Nur Iman juga hidup pada fase di mana pesantren mendaulat gramatika dan morfologi menjadi primadona, baru kemudian fiqh dan tasawuf pada posisi kedua dan ketiga. Kenyataan ini terjadi sampai sekarang di mana mayoritas pesantren menerapkan disiplin ketat dan kurikulum berjenjang dalam pembelajaran bidang gramatika dan morfologi. Kitab acuan wajib yang menjadi bagian dari desain kurikulum mayoritas pesantren tradisional adalah Al-Ajrumiyyah, Al-Umrithi dan Alfiyyah Ibn Malik.
Strategi pembelajaran ilmu-ilmu keislaman yang dimulai dari penguatan gramatika dan morfologi Arab ini tidak mengherankan karena para ulama sejak era Islam klasik telah mendapuk cabang ilmu ini sebagai madkhal (pintu masuk) ke dalam berbagai disiplin keilmuan yang ada. Apabila keilmuan Islam dibagi ke dalam tiga rumpun keilmuan yaitu al-ulum al-naqliyyah (ilmu-ilmu tekstual), al-ulum al-naqliyyah al-naqliyyah (ilmu-ilmu tekstual-rasional) dan al-ulum al-aqliyyah (ilmu-ilmu rasional) maka gramatika merupakan kunci bagi pintu-pintu pengetahuan itu. Bahkan Abu Al-Barakat mengatakan bahwa seluruh ulama salaf sepakat menempatkan gramatika Arab sebagai syarat berijtihad.
Dalam rumpun al-ulum al-naqliyyah yang mengandaikan akses langsung terhadap teks-teks Al-Qur’an, Hadits, fiqh, sirah, akidah, peran bahasa sangat determinan dalam upaya menambah cakrawala pengetahuan. Sedangkan dalam rumpun al-ulum al-naqliyya al-aqliyyah kebutuhan akan ketrampilan bahasa Arab menjadi mutlak karena mereka harus melakukan analisis langsung terhadap Al-Quran dan Al-Hadits untuk merubahnya menjadi teori-teori hukum, teori-teori tasawuf, teori-teori filsafat dan teori-teori teologi. Sedangkan rumpun al-ulum al-aqliyyah meskipun titik tumpu utama adalah rasionalitas dengan melakukan analisis langsung terhadap fenomena alam dan sosial akan tetapi embrio teori-teori sains dan humaniora sudah ditemukan oleh ulama-ulama masa silam yang mana tidak mungkin diakses kecuali dengan menggunakan skill bahasa asing.
Otoritas seseorang bisa saja ditakar dari karya-karya yang ia anggitkan. Dari karya-karya itu seseorang menjadi menonjol di bidang tertentu. Otoritas Ibn Khaldun dalam bidang sejarah sedemikian menonjol melalui kajian sejarahnya dalam Muqadimah meski ia menguasai ilmu qira’at, otoritas Al-Ghazali dalam bidang tasawuf sedemikian mengemuka melalui kajiannya tentang tasawuf dalam magnum opus Ihya’ ‘Ulumiddin Ulumuddin meski ia menguasai filsafat, dan begitu seterusnya karena salah satu karakteristik Islam klasik, sebagaimana diungkap oleh George Makdisi adalah visi multidisipliner. Visi ini mengandaikan seorang pemikir bisa saja menguasai berbagai disiplin ilmu. Imam Al-Syafi’i tidak hanya par excellence dalam ushul fiqh akan tetapi juga kompeten dalam bidang bahasa sehingga Ibn Hisyam pun dalam Sirah Nabawiyah mengatakan “Al-Syafi’i kalamuhu lughah yuhtajju biha”. Ibnu Rusyd tidak hanya membagun kompetensi di bidang filsafat akan tetapi juga fiqh dan ushul fiqh yang terbukti dalam Al-Dharuri Fi Ushul Al-Fiqh, Bidayah Al-Mujtahid dan Fashl Al-Maqal. Di samping itu, Islam klasik juga mewariskan tradisi kosmopolitanisme sebagaimana dicontohkan Imam Al-Syafi’i misalnya, dengan melakukan pengelanaan intelektual ke berbagai wilayah Islam yang dipandang subur keilmuan Islamnya. Senada dengan Al-Makdisi, faktor-faktor perkembangan ilmu pengetahuan yang sedemikian rupa, menurut Ahmad Al-Dasuki dan Aminah Al-Jabir karena maraknya pengelanaan intelektual (rihlah ilmiyyah), pertemuan-pertemuan ilmiah (halaqah al-ilm) dan adanya situasi diskursif-dialektik (munadharah).
Sedangkan Kyai Nur Iman mewarisi tradisi Islam klasik itu dengan membangun otoritas tidak hanya dalam satu bidang akan tetapi tiga bidang sekaligus yaitu gramatikal, morfologi dan tasawwuf. Ia menulis Al-Taqwim dalam bidang gramatika, Shorf Mlangi dalam bidang morfologi dan Al-Tsani Al-Mathalib fi Ishthilah Al-Awaqib dalam bidang Nahwu-Tasawuf. Tasawwuf fikri dikombinasikan dengan tasawuf amali dalam penerapan laku riyadhah, mujahadah dan perlawanan terhadap potensi-potensi buruk duniawi termasuk politik-kekuasaan. Tidak hanya karakter multidisipiner, akan tetapi Kyai Nur Iman juga melestarikan watak kosmopolitanisme Islam klasik dalam sejarah pengelanaannya. Pada kenyataannya, Kyai Nur Iman nyantri di beberapa wilayah di Nusantara terutama Jawa Timur. Ia pun, dalam sejarahnya, mendirikan pesantren-pesantren di sepanjang Ponorogo dan Pacitan.
Generasi-generasi Kyai Nur Iman pun sampai saat ini seakan mewarisi tradisi itu, mereka cukup gandrung melakukan pengelanaan intelektual, meski di Mlangi sendiri berserakan pesantren yang menjadi rujuan keilmuan santri yang datang dari berbagai wilayah Nusantara, baik Jawa maupun luar Jawa. Lusinan generasi-generasi baru itu berkelana di pesantren-pesantren Nusantara terutama pulau Jawa seperti Lirboyo, Tegalrejo, Paiton dan Krapyak yang di antara mereka mempunyai kompetensi ilmiah cukup kuat. Bahkan di antara mereka menekuni studi lebih lanjut di luar negeri. Walhasil, dari kampung yang sebenar-benarnya kampung ini, lahir pesantren-pesantren besar di luar wilayahnya, di antaranya adalah PP. Watu Congol Muntilan (KH. Ahmad Abdul Haq), PP. Tegalrejo Magelang (KH. Abdurrahman Khudlori), PP. Al Asy'ariyyah Kalibeber Wonosobo (KH. Muntaha), PP. Bambu runcing Parakan Temanggung (KH. Muhaiminan), PP. Secang Sempu Magelang (KH. Ismail Ali), PP. Nurul Iman Jambi (KH. Sohib dan Nyai Hj. Bahriyah). Di Mlangi sendiri, di samping berjibun pesantren tradisional berdiri dan bertahan, saat ini telah mempunyai dua kandidat doktor (Ph.d) hukum Islam, satu magister ushul fiqh (MA) dan beberapa sarjana dalam dan luar negeri dalam berbagai disiplin ilmu.
Al-Taqwim; Judul, Substansi dan Konfigurasi Bab
Al-Taqwim berasal dari kata qawwama dengan model (wazan) fa”ala karena ada maksud mengubah arti dari makna transitif (lazim) menjadi makna intransitif (muta’adi). Taqwim adalan bentuk mashdar mengikuti model taf’il yang berarti pelurusan. Semangat yang bisa ditangkap dari judul barangkali adalah pembaharuan gramatika pada upaya resistematisasi yang dalam hal ini amat relatif. Judul menandakan karakter, pendekatan, dan lain sebagainya. Judul-judul semacam Al-Burhan, Taqwim Al-Adillah, Ta‘sis Al-Nazhar, Musallam Al-Tsubut menandakan kepengarangan berwujud pembaharuan yang dialektik-argumentatif, sedangkan judul Jam‘ Al-Jawami‘, Al-Muwafaqat menandakan sebuah proyek akomodasi dan integrasi dan Al-Lam‘, Al-Manar, Anwar Al-Buraq, Badi‘ Al-Nizham misalnya, menandakan adanya pengaruh-pengaruh sufistik.
Al-Taqwim terdiri dari enam bab di mana masing-masing bab (abwab) terdiri dari beberapa pasal (fushul). Bab adalah tema besar sedangkan pasal adalah sub tema. Kyai Nur Iman tidak memberikan payung besar tema dengan menggunakan redaksi qism di atas bab dan pasal akan tetapi membagi lagi konfigurasi bab dan pasal ini menjadi bagian-bagian pasal dengan menggunakan redaksi al-nau’ (sub dari sub tema). Meski pembagian yang terakhir ini hanya terjadi pada bab ke lima ketika membahas al-tawabi’ (tema-tema tambahan/penyerta). Bab dan pasal adalah nomenklatur yang netral, berbeda dengan Al-Ghazali yang menggunakan nomenklatur sufistik seperti al-qutb karena ada waliy al qutb dan qutb al aqthab dalam terminologi sufistik atau ulama ushul fiqh yang sering menggunakan al-kitab dan al-ashl dalam menyusun konfigurasi bab karya-karya mereka.
Setelah mukadimah dan sebelum penutup dalam kitab Al-Taqwim adalah pembahasan, sistematika yang lazim dalam kepenulisan Arab-Islam. Menandakan ulama klasik sudah memahami betul pentingnya standar penulisan ilmiah yang sekarang mengatur sistematikanya sendiri sesuai dengan jenis dan tujuan penulisan seperti dalam artikel: abstraksi, mukadimah, penyajian hasil, pembahasan, kesimpulan dan pustaka acuan. Atau dalam penulisan skripsi, tesis dan isertasi kita mengenal: abstraksi, pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, kegunaan penelitian, kajian pustaka, kerangka teoritik, metode penelitian, sistematika pembahasan kemudian dilanjutkan isi, penutup dan daftar pustaka.
Bab pertama Al-Taqwim membahas tentang kategori kalimah, kalam, mu’rab, mabni, i’rab al-asma wa al-af’al. Pada bab ini Kyai Nur Iman membedakan antara kalimah dengan kalam. Kalimah dalam bahasa arab adalah kata tunggal (tidak terdiri dari sususan kata) sedangkan kalam adalah susunan kata yang mempuyai faidah. Kalam dalam bahasa Arab sering disebut sebagai jumlah. Meski jumlah lebih umum daripada kalam karena kalam mengandaikan adanya faidah (bisa dipahami) sedangkan jumlah tidak. Dinamakan jumlah karena menunjuk adanya bilangan (kata) sedangkan dinamakan kalam karena mengindikasikan suatu komunikasi yang bisa dipahami. Maka selanjutnya, Kyai Nur Iman menjelaskan bahwa dalam bahasa Arab susunan kata ”apabila Zaid berdiri” merupakan jumlah dan bukan kalam. Sedangkan susunan kata ”apabila Zaid berdiri maka Umar berdiri” adalah kalam dan terdiri dari dua jumlah. Yang pertama adalah jumlah syarthiyyah dan yang kedua adalah jumlah jawabiyyah.
Setelah menjelaskan klasifikasi kalimah yang terdiri dari kalimah isim, fi’il dan harf pada pasal pertama, Kyai Nur Iman menjelaskan kategori lebih lanjut bahwa kalimah isim dibagi menjadi dua yaitu mu’rab dan mabni pada pasal kedua. Mu’rab adalah kalimah yang huruf akhirnya berubah sesuai dengan faktor yang mempengaruhinya (’amil). Perubahan-perubahan itu tidak lepas dari empat kategori yaitu rafa’, nashb, jarr dan jazm. Pada pasal ketiga Kyai Nur Iman menjelaskan lebih lanjut bahwa rafa’, nashb dan jarr adalah kemungkinan perubahan ’irab pada ism (kata benda) dan fi’il (kata kerja) sekaligus. Sedangkan jazm adalah spesifik perubahan pada fi’il. Pada pasal ke empat, Kyai Nur Iman menjelaskan bahwa harakat mabni yang terdiri dari fathah, dhammah, dan kasrah terkadang digunakan dalam kalimah-kalimah yang mu’rab akan tetapi tidak sebaliknya. Maka ketika dikatakan ”mararrtu bi zaidin”, kata ”zaidin” dalam posisi kasrah (maksur/jarr) akan tetapi tidak bisa dikatakan bahwa ”ha-u-la-i” adalah dalam posisi jarr meskipun dalam posisi kasrah. Kyai Nur Iman menutup pembahasan ini dengan pasal ke lima yang menjelaskan bahwa masing-masing i’rab (rafa’, nashb, jarr dan jazm) mempunyai tanda-tanda perubahan sendiri-sendiri pada akhir kalimah (alamah al-i’rab). Menariknya, Kyai Nur Iman hanya menjelaskan tanda-tanda perubahan pada masing-masing kategori i’rab akan tetapi menunda penjelasan penempatan masing-masing tanda perubahan itu beserta eksemplar contohnya.
Penundaan penjelasan tanda-tanda perubahan menandakan sistematika yang tidak biasa dari kitab-kitab yang sekarang ini dijadikan acuan mayoritas pesantren semisal Al-Ajrumiyyah dan Al-Umrithi. Kyai Nur Iman justru menjelaskan semua itu dalam bagian selanjutnya yang terdiri dari dua pasal: i’rab al-ism (perubahan pada ism ) dan i’rab al-fi’l (perubahan pada fi’il). Dalam pembahasan perubahan-perubahan pada ism, Kyai Nur Iman membedakan perubahan yang bersifat eksplisit (lafdhi) dan perubahan yang bersifat implisit (taqdiri) sebagaimana ia juga membedakan ism yang sifatnya sahih dan ism yang mu’tal. Kedua kategorisasi ini dilakukan karena keduanya merupakan faktor penenetu keterbacaan adanya perubahan dalam suatu kalimah atau tidaknya. Terkadang perubahan itu cukup lahiriah, terkadang pula perubahan itu tersembunyikan. Perubahan yang sifatnya tersembunyi ini lah yang menjadi ’hantu’ menakutkan bagi para peminat bahasa Arab karena sering menjebak dan tidak bisa dilihat kedudukan i’rabnya melainkan melalui analisis gramatikal yang lebih seksama.
Kyai Nur Iman menjelaskan bahwa perubahan yang bersifat eksplisit terjadi pada delapan ism dan perubahan implisit terbagi menjadi dua: perubahan pada keseluruhan ’irab (al-ism al-maqshurah dan al-ism al-mudhaf ila yai al-mutakallim) dan perubahan pada sebagian i’rab (al-ism al-manqush dan jam’ al-mudzakkar al-mudhaf ila yai al-mutakallim). Ia juga menjelaskan perubahan pada kalimah yang mudha’af, ism ghair munsharif, dan terakhir dhamir. Pada bagian ini lah Kyai Nur Iman menjelaskan tanda-tanda perubahan yang sempat ditundakan. Dasar asumsi yang dijadikan landasan Kyai Nur Iman cukup jelas, perubahan-perubahan itu tidak lepas dari kedua kategorisasi tersebut; sahih dan mu’tal. Penjelasan dengan sistematika ’jalan pintas’ semacam ini di samping merupakan kekhasan kitab-kitab ikhtisar juga menandakan penguasaan yang komprehensif seorang penulis atas disiplin yang digeluti. Tradisi ikhtisar dengan begitu bukan saja bentuk peringkasan akan tetapi sebagian di antaranya memang menyimpan elemen kreatifitas dan kecerdasan penganggit yang dituntut berbicara lugas, singkat, dengan akurasi yang kuat.
Setelah berbicara cukup panjang lebar dan subtil soal perubahan-perubahan yang terjadi pada kalimah, maka Kyai Nur Iman menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan itu. Penjelasan menganai faktor-faktor perubahan itu, atau katakan lah varibel perubahan, menandakan dimulainya bab baru yang kedua. Kyai Nur Iman langsung membagi variabel yang mempengaruhi perubahan i’rab itu menjadi tiga: lafdhiyyah qiyasiyyah sebagaimana fi’il, baik lazim maupun muta’adi, ma’nawiyyah sebagaimana ibtida’, amil al fi’l al -mudhari’ (Sibawaih), dan amil al -shifah (Al-Akhfash) dan lafdhiyyah sima’iyyah yang berjumlah 91. Pembahasan kategori lafdhiyyah sima’iyyah diklasifikasi oleh Kyai Nur Iman ke dalam kajian tujuh pasal. Ketiga kategoriasi ini menjadi judul bab dan diikuti beberapa pasal untuk penjelasan lebih subtil. Penyebutan Sibawaih, Al-Akhfasy dan Kitab Mulhah Al-I’rab menunjukkan adanya kesadaran prior research dan pentarjihan Sibawaih atas Al-Akhfasy menunjukkan afiliasi Kyai Nur Iman kepada gramatika madzhab Bashrah yang cenderung tekstual/sima’i daripada Kufah yang cenderung rasional/qiyasi.
Setelah mengkaji konsep kalimah, jumlah dan kalam, fenomena perubahan akhir kata dan faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan itu, maka Kyai Nur Iman beranjak ke rancangan bab kelima tentang al-tawabi’ (tema-tema tambahan/penyerta). Kyai Nur Iman menamakan bab ini dengan titik tekan tertentu ketika melekatkan redaksi La Budda Minha li Al-Muta’allimin setelah Al-Bab Al-Khamis fi Anwa’ Al-Tawabi. Meski bagian ini diposisikan pada bagian akhir dalam sistematika dan konfigurasi bab akan tetapi dari sisi ugensitasnya sama-sama menentukan dengan kajian-kajian sebelumnya. Kesempurnaan bacaan dalam teori kalam akan ternodai dengan kesalahan pada aplikasi teori-teori yang ada pada pasal-pasal tambahan ini.
Pada bagian ini lah Kyai Nur Iman merasa perlu untuk membuat konfigurasi baru dalam bab dan pasal dengan menambahkan kategorisasi kajian baru dengan menggunakan redaksi al-nau’. Bagian pertama dalam bab ini adalah kajian tentang teori sifat, taukid, badal, athaf bayan, athaf bi al-huruf. Bagaimana menyikapi perubahan pada akhir kalimah yang berposisi bukan sebagai elemen primer kalam akan tetapi sekunder sebagaimana di atas. Setelah itu Kyai Nur Iman menambahkan beberapa teori, teori al-ma’rifah wa al-nakirah, teori mudzakkar wa muannas, teori jam’ taksir, teori ’adad, teori al-huruf, teori lam ta’rif, teori tasghir, teori ya’nisbah, dan teori nun taukid.
Bab ke enam yang merupakan bab terakhir dari kitab ini ia gunakan untuk menjelaskan relasi antara jumlah dengan kalam dan penjelasan khusus tentang jar majrur. Bab ini dibagi menjadi dua pasal: pasal tentang jumlah dan pasal tentang jar marjur. Kyai Nur Iman membedakan antara kalam dengan jumlah. Pada dasarnya, jumlah lebih umum daripada kalam karena jumlah bisa menampung susunan kalimah, baik yang bisa dipahami maupun tidak (ma yufid wa ma la yufid). Susunan beberapa kalimah yang berbunyi ”apabilia Zaid berdiri” bukan termasuk kalam akan tetapi jumlah sedangkan susunan beberapa kalimah yang berbunyi ”apabila zaid berdiri maka umar berdiri” merupakan kalam dan sekaligus terdiri dari dua jumlah.
Berikut adalah diagram sistematika dan konfigurasi bab Al-Taqwim:
Al-Taqwim: Sekedar Ikhtisar?
Suatu bentuk ikhtisar, atau bahkan syarkh (komentar) atau hasyiyah (komentar atas komentar) pada umumnya tidak keluar dari struktur nalar teks matan (teks inti). Kreatifitas ini bergerak dari dalam teks pada level ungkapan; mengomentari, menjelaskan atau memberikan kemungkinan tambahan dari disiplin ilmu lain. Fenomena ini, terlepas dari kreatifitas relatif yang ada, harus diakui menandakan sebuah kreatifitas yang minimal. Dalam konsep kepengarangan ini, sebuah pemikiran justru berdiri di tempat dan mengelilingi dirinya sendiri, tertutup di edaran teks, berputar dan menggelembung. Padahal ilmu pengetahuan cenderung meluas dan dinamis, tidak bisa dibatasi kareka faktor perkembangan di luar dirinya.
Sebagaimana ada komentar, komentar atas komentar sebaliknya ada ikhtisar. Teks berada di antara perluasan dan penyempitan, pengembangan dan pengempisan, penyakupan dan pengerdilan. Jika tujuan dari komentar adalah supaya teks menjadi semacam jaringan inti untuk mengumpulkan informasi-informasi, maka tujuan ikhtisar adalah memfokuskan, menjaga inti teks dan memegangnya erat-erat. Ia kembali kepada inti. Ia terkadang bukan bentuk ikhtisar terhadap matan tertentu akan tetapi terhadap komentar dan komentar atas komentar. Sebuah proses datang dan pergi, lari dan kembali yang berakhir dengan tempat rahasia di dalam teks asli (matan).
Dua model kepengarangan ini tak memberikan hal baru apalagi kreatifitas struktur nalar (metodologi). Keduanya bergerak di tempat, lamban ketika melakukan komentar dan cepat ketika melakukan ikhtisar. Materi-materi ilmu kembali terulang. Setiap karya yang datang dibangun secara kongruen di atas karya masa lalu, menambahi detail-detailnya, sekedar mengganti strukur ungkapan atau mengubah arahnya. Praktis gramatika menjadi materi-materi yang terulang dan serupa lebih banyak daripada materi yang berbeda-beda. Berada di dalam sebuah budaya yang tidak mengenal hak paten pemikiran, pengutipan terjadi tanpa mencantum referensi. Pemikiran sangat kolektif, strukturnya tetap dan ilmunya sangat membudaya.
Menurut Hasan Hanafi, paling tidak ada tiga motif komentar: Pertama, pentingnya entitas matan dalam sistem pengetahuan Islam, baik dari segi disiplin ilmu maupun substansi teks tertentu. Dari segi ilmu, gramatika menempati posisi yang menentukan karena memuat dasar-dasar bahasa yang terkait dengan akses pengetahuan Islam. Adapun dari segi pentingnya substansi teks karena karya teks tertentu seperti Alfiyyah Ibn Malik merupakan puncak kematangan teori di samping kematangan penulisnya. Meski banyak teks matan yang istimewa tidak diikhtisari dan dikomentari siapapun karena merupakan teks yang cukup jelas dan terbuka.
Kedua, upaya menjelaskan bagian-bagian yang kurang dipahami. Dalam hal ini, komentar berfungsi mempermudah pemahaman, sangat membantu bagi mereka yang dipayahkan dengan teks-teks matan yang ditulis dengan struktur bahasa ”tingkat tinggi”, akan tetapi sebagian komentar juga ditulis tanpa ada motivasi ini; mirip dengan karya-karya filsafat sekarang ini yang ditulis hanya dalam rangka memenuhi kebutuhan buku ajar di madrasah dan universitas. Bentuk komentar kadang tidak disertai bab pendahuluan yang memuat alasan kenapa harus dilakukan komentar.
Ketiga, mempertahankan kontinuitas. Komentar dilakukan sekedar meniru generasi sebelumnya yang melakukan hal sama. Taklid dalam pensyarakhan hampir sama dengan taklid dalam substansi matan. Meski banyak juga matan yang mempunyai mutu cukup baik dan diperlukan syarkh maupun ikhtisar sebagaimana dalam ushul fiqh kita menemukan Minhaj Al-Wushul karya Al-Baidhawi yang dikomentari hampir 50 kitab. Belum termasuk kitab-kitab yang mentakhrij atau bahkan memodifikasinya menjadi syair-syair yang sastrawi (nudhum/abyat).
Komentar dan ikhtisar menunjukkan suatu fase sejarah tertentu di mana kreatifitas berhenti sebagaimana dijelaskan Ibn Khaldun. Kreatifitas berhenti setelah keilmuan Islam berkembang dan mencapai puncak pada abad V dan VI H. Serangan terhadap Islam dari Barat dan Timur berdampak Islam yang terkepung dan terfokus pada dirinya sendiri, mengumpulkan serakan kreatifitas-kreatifitas masa lalu dalam sistem-sistem teks secara ketat sehingga tidak mampu berkembang. Dalam komentar terkadang gramatika kembali kepada gramatika. Ada banyak contoh gramatika tanpa ada usaha untuk memperbarui materi ilmu sesuai dengan konteks dinamika sejarah.
Karya-karya klasik pada tahap paling modern berada di antara ragam penerbitan. Ciri khas terbitan awal oleh Al-Azhar misalnya, memenuhi lembaran dengan matan, komentar, catatan pinggir dan komentar atas komentar dilengkapi dengan takhrij akan tetapi minim tahqiq, tashih, ta’liq dan taqdim. Di Nusantara, Percetakan Petuk, Menara Kudus dan Thaha Putra mengikuti apa adanya. Kemudian cetakan Bulaq Cairo cukup detail dalam hal tahqiq, tashih, ta’liq, dan dilengkapi dengan taqdim tetapi terkadang tanpa takhrij. Tahqiq merupakan tradisi orientalisme seperti awal-awal dilakukan terhadap kitab Fihrisat karya Ibn Nadim dan Mu’jam Al-Buldan karya Yaqut Hamawi yang sebetulnya juga merupakan tradisi ulama-ulama Islam ketika mereka merumuskan metode otentifikasi, pengujian, verifikasi dan komparasi penisbahan-penisbahan teks kepada sumbernya.
Kitab Al-Taqwim yang ada di tangan penulis adalah bentuk salinan dari salah seorang santri Pesantren Al-Salimiyyah, pesantren yang dirintis oleh generasi ke enam Kyai Nur Iman. Di samping ada beberapa kesalahan yang bisa ditoleransi dalam proses penyalinan – dan penyalin memang sudah menyampaikan i’tidzar dalam pengantarnya – penerbitannya belum menyantumkan nama penerbit, tahun dan alamat penerbitan. Di awal halaman kitab ini disertakan taqdim dari penyalin tapi tanpa penyertaan nama - barangkali ingin menjaga keikhlasan -. Penyalinan itu didasarkan pada dawuh pendiri pesantren mengingat kebutuhan para santri untuk melakukan pengkajian rutin dan serius. Tertulis proses penyalinan selesai pada bulan Rabiul Awal tahun 1420 H.
Al-Taqwim adalah salah satu bentuk kitab ikhtisar. Hal ini dinyatakan sendiri oleh Kyai Nur Iman dalam mukadimahnya. Hanya saja konsep ikhtisar ini berbeda dengan karya-karya syarkh dan ikhtisar yang berangkat dari kitab matan tertentu. Kyai Nur Iman tidak menjadikan kitab matan yang ditulis ulama-ulama sebelumnya sebagai satu-satunya obyek ikhtisar. Kyai Nur Iman menyebut Sibawaih dan Al-Akhfasy begitu juga menyebut satu kitab berjudul Mulhah Al-I’rab untuk melakukan kutipan terhadap pendapat penulisnya, akan tetapi ia tidak mendaulat kitab ini sebagai matan untuk obyek ikhtisarnya. Barangkali hal serupa pernah dilakukan Al-Amidi dan Al-Razi dalam bidang ushul fiqh karena materi yang cukup ringkas dalam Al-Mahshul sesungguhnya adalah hasil olahan kajian ushul fiqh antara Al-’Ahdu karya Abd Al-Jabbar, Al-Mu’tamad karya Abu Al-Husain Al-Bashri, Al-Burhan karya Al-Juwaini dan Al-Mustashfa karya Al-Ghazali.
Memperhatikan substansi Al-Taqwim yang sedemikian padat namun mempunyai akurasi substansi yang kuat, bahasa yang lugas dan ringkas, tata kelola dzauq bahasa Arab yang ”kena” di samping kreatifitas sistematika dan konfigurasi bab yang berbeda dari kitab-kitab yang selama ini menjadi rujukan mayoritas pesantren, menunjukkan kreatifitas tertentu yang dimiliki Kyai Nur Iman. Hemat penulis, kitab ini bukan sekedar ikhtisar yang minim kreatifitas, akan tetapi ikhtisar yang dibarengi dengan kecanggihan dan penguasaan ilmu dan kemampuan mendemonstrasikannya secara cemerlang dalam wujud karya tulis.
Epilog
Santri yang membaca Al-Taqwim tanpa sebelumnya belajar gramatika Arab pada level dasar (basic) akan kesulitan di dalam memahaminya. Hemat penulis, gramatika yang disusun Kyai Nur Iman ini diperuntukkan bagi santri pada level advance atau minimal intermediate. Materi yang dihidangkan pada bagian tertentu terkesan cukup tinggi, ada kerumitan-kerumitan tertentu karena tingkat subtilitasnya, tidak selalu disertai penjelasan definisi, dan cenderung melakukan resistematisasi terhadap bab-bab yang ada sehingga menempuh arah lain sistematika dan konfigurasi bab dari kitab-kitab gramatika sebelumnya seperti Al-Ajrumiyyah dan Al-Umrithi yang sekarang menjadi mainstream acuan pesantren.
Al-Taqwim, salah satu warisan akademisi darah biru dari Kraton Ngayogyakarta yang memilih tinggal di luar kemegahan Istana ini, berhasil mendemonstrasikan kepiawaian dan penguasaan mendalam salah satu bidang keilmuan Islam terpenting yaitu gramatikal. Tentu saja pesantren layak mendaulat kitab ini menjadi bagian dari desain kurikulumnya, bukan saja sebagai bentuk apresiasi tradisi para leluhur yang masih relevan, akan tetapi kitab ini pada dasarnya memang memiliki mutu ilmiah akademik sebagai media pembelajaran gramatika Arab tingkat lanjut. Lebih dari itu, pesantren ditantang untuk melakukan pengembangan karya-karya ulama Nusantara yang telah mereka kaji secara seksama. Sekian. Wallahu a’lam bi al-showab.
PUSTAKA RUJUKAN
- Jami’ Al-Durus (Mustafa Ghalayaini)
- Al-Nahw Al-Wafi (Abbas Hasan)
- Al-Nahw Al-Wadhih (Ali Al-Jarim, Mustafa Amin)
- Tarikh Al-Nahw (Syaikh Muhammad Tanthawi)
- Al-Taqwim (Kyai Nur Iman)
- Min Al-Nash Ila Al-Waqi (Hasan Hanafi)
- Al-Turats wa Al-Hadatsah (Hasan Hanafi)
- Tarikh Al-Fikr Al-Arabi Al-Islami (Muhammad Arkoun)
- Al-Turats wa Al-Hadatsah (Abid Al-Jabiri)
- Nahw Fiqh Jadid (Jamal Al-Banna)
- The Rise of Humanism (George Makdisi)
- Khazanah Tafsir Indonesia (Islah Gusmian)
- Nudhum Al-Ajrumiyyah (Syarafuddin Yahya)
- Al-Umrithi (Ibrahim Al-Bajuri)
- Alfiyyah Ibn Malik (Ibn Malik)
- Ushul Kitabah Al-Bahs wa Qawaid Al-Tahqiq (Mahdi Fadhlullah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar