Jumat, 19 November 2010

TQN

Salah seorang ulama Indonesia paling berpengaruh sepanjang abad 19, yang juga pendiri tarekat Qadiriyyah wa Naqshabandiyyah (TQN) yang tersebar luas di Nusantara, terutama di Jawa. Beliau juga dikenal sebagai cendekiawan ulung terutama di bidang ilmu agama, seperti Qur’an, hadits, fiqih, kalam, dan, tentu saja, tasawuf.

Walau amat terkenal, namun tidak banyak yang diketahui tentang ulama tersohor ini. Beliau lahir di Sambas, Kalimantan Barat, pada tahun 1805 M (1217 H). Setelah menyelesaikan pendidikan agama tingkat dasar, beliau pergi ke Mekah pada umur 19 tahun untuk memperdalam ilmu, dan beliau menetap di sana hingga akhir hayatnya, yakni saat beliau wafat pada 1872 M (1289 H). Di antara para gurunya adalah Syekh Daud ibn Abd Allah ibn Idris al-Fatani, seorang alim besar dan mursyid tarekat Syattariyah. Syekh al-Fatani inilah yang memperkenalkan Syekh Ahmad Khatib kepada Syekh Syams al-Din, seorang mursyid dari Tarekat Qadiriyyah. Peristiwa agak aneh dan menimbulkan tanda tanya, yakni mengapa Syekh Ahmad Khatib Sambas tidak ikut pada tarekat guru pertamanya itu, padahal pada waktu itu Tarekat Syattariyyah bisa dikatakan cukup dominan dalam penyebarannya hingga akhir abad 19.
Syekh Syams al-Din ini amat mempengaruhi kehidupan Syekh Ahmad Khatib Sambas, dan Syekh Ahmad Khatib menjadi muridnya yang terbaik. Kelak Syekh Ahmad Khatib inilah yang menggantikan posisi gurunya sebagai mursyid Tarekat Qadiriyyah. Tetapi tidak diketahui dengan pasti dari siapa Syekh Ahmad Khatib Sambas menerima ijazah Tarekat Naqsyabandiyyah. Guru-guru lainnya diantaranya adalah Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari (mursyid Tarekat Sammaniyah), Syekh Bisyri al-Jabarti, Sayyid Ahmad al-Marzuqi, Sayyid Abd Allah ibn Muhammad al-Mirghani dan Utsman ibn Hasan al-Dimyati.
Syekh Ahmad Khatib Sambas adalah mursyid dari dua tarekat, meskipun kemudian dia tidak mengajarkannya secara terpisah, melainkan dikombinasikan. Kombinasi ini bisa dianggap sebagai bentuk tarekat baru yang berbeda dari dua tarekat sumbernya. Karenanya di Indonesia beliau dikenal sebagai pendiri Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah. Penyebaran tarekat ini juga dibantu oleh tersebar luasnya kitab karangan beliau, Fath al-Arifin, salah satu karya paling populer untuk praktik sufi di dunia Melayu. Kitab ini menjelaskan unsur-unsur dasar ajaran sufi, seperti baiat, zikir, muraqabah, silsilah (mata rantai spiritual) Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah.
Penerus dan Penyebaran Tarekat TQN
Semasa hidupnya Syekh Ahmad Khatib Sambas mengangkat banyak khalifah (wakil), namun posisi pewaris utamanya setelah beliau meninggal dipegang oleh Syekh ABD AL-KARIM BANTEN. Selain Syekh Abdul Karim, dua wakil penting lainnya adalah Syekh Thalhah Kalisapu Cirebon, dan Syekh Ahmad Hasbullah Ibn Muhammad Madura. Pada awalnya semuanya mengakui otoritas Syekh Abdul Karim, namun setelah Syekh Abdul Karim meninggal, tidak ada lagi kepemimpinan pusat, dan karenanya TQN menjadi terbagi dengan otoritas sendiri-sendiri.
Syekh Thalhah mengembangkan kemursyidan sendiri di Jawa Barat. Penerusnya yang paling penting adalah Syekh ABDULLAH MUBARROK IBN NUR MUHAMMAD atau “Abah Sepuh” dari Suryalaya dan putranya yang kharismatik Syekh AHMAD SHOHIBUL WAFA’ TAJ AL-ARIFIN. Khalifah lain di Jawa Barat adalah Kyai Falak, yang juga berasal dari Banten, yang mengembangkan TQN di daerah Pagentongan, Bogor Jawa Barat.
Untuk daerah Jawa Tengah, penerus TQN yang penting adalah K.H. MUSLIH ABDURRAHMAN (Mbah Muslih), yang menerima ijazah TQN dari K. H. Ibrahim al-Brumbungi, seorang khalifah dari Syekh Abdul Karim, melalui Mbah Abd Rahman Menur. Salah satu murid Kyai Muslih, yakni Kyai Abu Nur Jazuli menyebarkan TQN di Brebes. Murid lainnya, K. H. Durri Nawawi mengajarkan TQN di Kajen, Pati.
Sedangkan di Jawa Timur TQN berkembang pesat di Rejoso Jombang, melalui jalur Syekh Ahmad Hasbullah Madura, terutama di pesantren yang didirikan oleh Kyai Romli Tamim, dan kemudian diteruskan oleh Kyai MUSTA’IN ROMLY. Kyai Musta’in ini sangat kharismatik, dan sempat menjadi ketua Jam’iyyah Ahli Thoriqoh al-Mu’tabaroh. Tetapi pada pemilu 1977, karena beliau berafiliasi ke Golkar, maka lembaga ini pecah menjadi dua. Pihak penentang keterlibatan tarekat dalam politik kemudian mendirikan Jam’iyyah Ahli Thoriqoh al-Mu’tabaroh al-Nahdliyyah (JATMAN), sedangkan kubu Kyai Musta’in Romli menambahkan kata Indonesia di belakang nama organisasi itu (JATMI). Salah satu murid kesayangan Kyai Romly Tamim adalah Kyai UTSMAN AL-ISHAQI, yang menyebarkan TQN al-Utsmani di Surabaya. Setelah Kyai Utsman meninggal, kepemimpinannya diteruskan oleh Kyai AHMAD ASRORI AL-ISHAQI (yang meninggal beberapa hari yang lalu – ya Allah sucikanlah sirr beliau). Di bawah kepemimpinan beliau, tarekatnya menyebar luas hingga ke mana-mana.
Metode dan Ajaran Dzikir
Metode zikir tarekat ini menggunakan dua bentuk, zikir keras (jahar) dan diam (khafi). Untuk zikir keras beliau menggunakan teknik zikir dengan membaca laa ilaha illa Allah (kalimat nafy-itsbat) sebagaimana dipraktikkan dalam Tarekat Qadiriyyah. Sedangkan zikir “diam” menggunakan teknik dari Naqsyabandiyyah, yakni menyebut ism al-dzat: Allah. Namun praktik ini sedikit dimodifikasi dengan memasukkan unsur zikir Naqsyabandiyyah, di mana zikir kalimat tahlil itu dilakukan dengan mengacu pada titik-titik latha’if (pl: lathifah) yang ada dalam tubuh manusia sebagaimana diajarkan dalam Tarekat Naqsyabandiyyah. Zikir diawali dengan bacaan “hadiah” surat al-Fatihah kepada Nabi Muhammad saw dan istighfar (Astaghfirullah al-ghafur ar-rahim 3 kali, atau sampai 25 kali). Tetapi dalam perkembangannya, meski prinsip dasarnya sama, namun kaifiyyah dalam beberapa otoritas TQN yang belakangan tampak sedikit berbeda, misalnya kaifiyyat zikir jahr TQN Suryalaya dengan TQN al-Utsmani memiliki sedikit perbedaan dalam penekanan pada hentakan dan tempo zikir, dan juga ada perbedaan dalam zikir khafinya. Demikian pula ada sedikit perbedaan dalam jumlah zikir khafi TQN Suryalaya dengan TQN Mranggen di bawah otoritas Kyai Muslih.. Walau demikian, prinsip dan tujuannya tetaplah sama – variasi itu tidak mengubah substansi dari amalan TQN secara keseluruhan. Berikut sedikit prinsip umum metode zikir TQN – namun penjelasan di bawah lebih didasarkan pada kaifiyyah dari TQN Suryalaya.
Dzikir Jahar
Kalimat “laa” diucapkan dengan suara keras sambil membayangkan kalimat itu ditarik dari pusat terus lurus ke atas melewati dada hingga ke kepala, kemudian “ilaha” dibayangkan ditarik ke dada kanan dan “illa Allah” ditarik ke kiri dengan diberi penekanan yang keras (atau dalam istilah tarekat ini: “dipukulkan” ke lathifah qalb). Zikir ini dibaca minimal 165 kali selepas shalat wajib, boleh lebih dan diutamakan hitungan ganjil, dan diakhiri dengan bacaan shalawat. Lalu dibaca shalawat munjiah, dan surat al-Fath ayat 10 dan dilanjutkan doa sekehendak hati.
Fungsi “penarikan” garis zikir itu, yakni dari bawah ke atas, lalu ke kanan dan kiri (untuk pemula yang belum berpengalaman dianjurkan dengan menggunakan gerak kepala, sehingga dari luar tampak mereka berzikir dengan menggeleng-gelengkan kepala) adalah agar kekuatan kalimat itu menyentuh titik-titik lathifah. Kitab Fath al-Arifin menggambarkan sepuluh lathifah, lima diantaranya adalah qalb, ruh, sirr, khafi, dan akhfa, yang dikenal sebagai alam al-amr (alam perintah). Lima lathifah lainnya adalah nafs, plus empat unsur: air, udara, tanah dan api (alam al-khalq). Penjelasan lima lathifah utama itu adalah:
Lathifah al-qalb ada di bawah dada kiri, dua jari di bawah payudara … warnanya adalah kuning, dan dia adalah tempat kekuasaan Nabi Adam as, dan asalnya adalah air, udara dan tanah.
Lathifah al-ruh bertempat di sisi bawah susu kanan, berjarak sekitar dua jari, warnanya adalah merah, dan merupakan tempat kewenangan Nabi Ibrahhim dan Nuh, dan asalnya adalah api.
Lathifah al-sirr bertempat di atas susu kiri berjarak sekitar dua jari, warnanya adalah putih, tempat kekuasaan Nabi Musa dan asalnya adalah air.
Lathifah al-khafi bertempat di atas susu kanan, berjarak sekitar dua jari, warnanya adalah hitam, tempat kekuasaan Nabi Isa, dan asalnya adalah udara.
Lathifah al-akhfa bertempat di tengah dada, warnanya hijau, tempat kekuasaan Nabi Muhammad saw., asalnya adalah tanah.
Gerakan simbolik dari zikir nafi-itsbat ini dimaksudkan agar semua lathifah tersebut, yang diyakini merupakan pusat pengendalian nafsu dan kesadaran jiwa dan spiritual, teraliri dan terkena energi dan panas zikir tahlil tersebut. Zikir pada mulanya pelan, dan cenderung lebih panjang tarikan bacaannya, tetapi kemudian temponya dipercepat dan suara makin meninggi, agar tercapai kondisi semacam “ekstase.” Percepatan bacaan ini juga dimaksudkan untuk membentengi pikiran dari “lintasan pikiran” (khatir) yang mengganggu hati, sehingga seluruh konsentrasi tertuju pada Allah saja.
Dzikir Khafi
Zikir ini dilaksanakan setelah zikir nafi-itsbat, atau boleh dikerjakan kapan saja. Prinsipnya adalah dibaca 5000 kali dalam sehari semalam (tetapi dalam otoritas Syekh AHMAD SHOHIBUL WAFA’ TAJ AL-ARIFIN tidak ada batasan, hanya “sebanyak-banyaknya” disertai dengan pengendalian nafas). Pada tingkatan yang lebih tinggi zikir ini dibaca hingga 25,000 kali dalam sehari semalam. Zikir ini dibaca dalam hati, dengan dikonsentrasikan pada lathaif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar