baik buruk takdir adalah dari Allah swt... kemudian pertanyaannya adalah :
1. hidup kita di dunia ini sudah ada rel nya dalam arti seberapapun usaha kita maka hasilnya sudah ada. karena memang sudah dituliskan di azali. bagaimana fungsi do'a terhadap sesuatu yang "sudah digariskan" Allah itu?
2. apakah sabar dan tawakal ada batasnya?
1. hidup kita di dunia ini sudah ada rel nya dalam arti seberapapun usaha kita maka hasilnya sudah ada. karena memang sudah dituliskan di azali. bagaimana fungsi do'a terhadap sesuatu yang "sudah digariskan" Allah itu?
2. apakah sabar dan tawakal ada batasnya?
do'a,..berfungsi meminimalisir,...
1. yang saya pernah baca, bahwa ketentuan-ketentuan itu sudah tertulis di lauhilmahfudz dan para malaikat membacanya, hanya ada yang dirahasiahkan yaitu di 'Ilmunya Allah (tidak ditulis di lauhilmahfudz), saat kita berdo'a hak Allah untuk merubah atu tidaknya. Ada hadits tidak ada yang dapat merubah qadla kecuali do'a.
- akidah ahlus sunnah wal jamaah ala asy ariyah mengatakan bahwa kita berada di jalan tengah antara paham jabariyah dan qodariyah..
- sebagian 'ulama berpendapat jika Allah berkehendak maka akan mengganti apa-apa yang sudah ditulis di lauhilmahfudz dengan menafsirkan ayat yamhullahu..
- 2. Kalau sudah ada batas kesabaran berarti sudah ga sabar lagi kang..
- Ada lagi yang mengatakan bahwa do'a tidak merubah, tapi berkah do'a kita diberi kekuatan, misalnya si A ditentukan mau celaka, nah berkah do'anya dia tetap celaka tapi diberi kesabaran oleh Allah, bukankah banyak yang celaka tapi tidak sabar..maka akan teras lebih berat
- Iya kang kitab siraojutholibin yang ditashhih oleh mbah Hasyim As'ari, bisa dilihat disitu.
- Diantara jenis sabar adalah sabar terhadap taqdir Allah. Hal ini berkaitan dengan tauhid Rububiyyah, karena sesungguhnya pengaturan makhluk dan menentukan taqdir atas mereka adalah termasuk dari tuntutan Rububiyyah Allah Ta’ala.
Perbedaan antara Al-Qadar & Al-Maqduur
Qadar atau taqdir mempunyai dua makna. Yang pertama: al-maqdur yaitu sesuatu yang ditaqdirkan. Yang kedua: fi’lu Al-Muqaddir yaitu perbuatannya Al-Muqaddir (Allah Ta’ala). Adapun jika dinisbahkan/dikaitkan kepada perbuatannya Allah maka wajib atas manusia untuk ridha dengannya dan bersabar. Dan jika dinisbahkan kepada al-maqduur maka wajib atasnya untuk bersabar dan disunnahkan ridha.
Contohnya adalah ‘Allah telah menaqdirkan mobilnya seseorang terbakar’, hal ini berarti Allah telah menaqdirkan mobil tersebut terbakar. Maka ini adalah qadar yang wajib atas manusia agar ridha dengannya, karena hal ini merupakan diantara kesempurnaan ridha kepada Allah sebagai Rabb. Adapun jika dinisbahkan kepada al-maqduur yaitu terbakarnya mobil maka wajib atasnya untuk bersabar dan ridha dengannya adalah sunnah bukan wajib menurut pendapat yang rajih (kuat).
semakin mantap nih... lalu ada gak akhir dari manusia dalam menerima takdir.... misal. seseorang ingin sesuatu tapi sesuatu itu tak kunjung didapatkan. apakah kita bisa katakan bahwa allah tida mengabulkan sesuatu itu.. sedangkan Allah pasti mengabulkan astajib lakum...
Bagaimana Manusia Menghadapi Musibah?
Di dalam menghadapi musibah, manusia terbagi menjadi empat tingkatan:
Pertama, marah. Yaitu ketika menghadapi musibah dia marah baik dengan hatinya seperti benci terhadap Rabbnya dan marah terhadap taqdir Allah atasnya, dan kadang-kadang sampai kepada tingkat kekufuran, Allah berfirman:
“Dan diantara manusia ada orang yang beribadah kepada Allah dengan berada di tepi; maka jika ia memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam keadaan itu, dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang. Rugilah ia di dunia dan di akhirat. Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata.” (QS.Al-Hajj: 11)
Atau dia marah dengan lisannya seperti menyeru dengan kecelakaan, kebinasaan dan yang sejenisnya. Atau marah dengan anggota badannya seperti menampar pipi, merobek saku baju, menarik-narik (menjambak) rambut, membenturkan kepala ke tembok dan yang sejenisnya.
Kedua, sabar. Yaitu sebagaimana ucapan penyair:
“Sabar itu seperti namanya, pahit rasanya, akan tetapi akibatnya lebih manis dari madu.”
Maka orang yang sabar itu akan melihat bahwasanya musibah ini berat baginya dan dia tidak menyukainya, akan tetapi dia membawanya kepada kesabaran, dan tidaklah sama di sisinya antara adanya musibah dengan tidak adanya, bahkan dia tidak menyukai musibah ini akan tetapi keimanannya melindunginya dari marah.
Ketiga, ridha. Dan ini lebih tinggi dari sebelumnya, yaitu dua perkara tadi (ada dan tidak adanya musibah) di sisinya adalah sama ketika dinisbahkan/disandarkan terhadap qadha dan qadar (taqdir/ketentuan Allah) walaupun bisa jadi dia bersedih karena musibah tersebut, Karena sesungguhnya dia adalah seseorang yang sedang berenang dalam qadha dan qadar, kemana saja qadha dan qadar singgah maka dia pun singgah bersamanya, baik di atas kemudahan ataupun kesulitan. Jika diberi kenikmatan atau ditimpa musibah, maka semuanya menurut dia adalah sama. Bukan karena hatinya mati, bahkan karena sempurnanya ridhanya kepada Rabbnya, dia bergerak sesuai dengan kehendak Rabbnya.
Bagi orang yang ridha, adanya musibah ataupun tidak, adalah sama, karena dia melihat bahwasanya musibah tersebut adalah ketentuan Rabbnya. Inilah perbedaan antara ridha dan sabar.
Keempat, bersyukur. Ini adalah derajat yang paling tinggi, yaitu dia bersyukur kepada Allah atas musibah yang menimpanya dan jadilah dia termasuk dalam golongan hamba-hamba Allah yang bersyukur ketika dia melihat bahwa di sana terdapat musibah yang lebih besar darinya, dan bahwasanya musibah-musibah dunia lebih ringan daripada musibah-musibah agama, dan bahwasanya ‘adzab dunia lebih ringan daripada ‘adzab akhirat, dan bahwasanya musibah ini adalah sebab agar dihapuskannya dosa-dosanya, dan kadang-kadang untuk menambah kebaikannya, maka dia bersyukur kepada Allah atas musibah tersebut. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Tidaklah suatu musibah menimpa seorang muslim kecuali Allah akan hapuskan (dosanya) karena musibahnya tersebut, sampai pun duri yang menusuknya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari ‘A`isyah)
“Tidaklah seorang muslim ditimpa keletihan/kelelahan, sakit, sedih, duka, gangguan ataupun gundah gulana sampai pun duri yang menusuknya kecuali Allah akan hapuskan dengannya kesalahan-kesalahannya.” (HR. Al-Bukhari dari Abu Sa’id Al-Khudriy dan Abu Hurairah)
Bahkan kadang-kadang akan bertambahlah iman seseorang dengan musibah tersebut.
Di dalam menghadapi musibah, manusia terbagi menjadi empat tingkatan:
Pertama, marah. Yaitu ketika menghadapi musibah dia marah baik dengan hatinya seperti benci terhadap Rabbnya dan marah terhadap taqdir Allah atasnya, dan kadang-kadang sampai kepada tingkat kekufuran, Allah berfirman:
“Dan diantara manusia ada orang yang beribadah kepada Allah dengan berada di tepi; maka jika ia memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam keadaan itu, dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang. Rugilah ia di dunia dan di akhirat. Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata.” (QS.Al-Hajj: 11)
Atau dia marah dengan lisannya seperti menyeru dengan kecelakaan, kebinasaan dan yang sejenisnya. Atau marah dengan anggota badannya seperti menampar pipi, merobek saku baju, menarik-narik (menjambak) rambut, membenturkan kepala ke tembok dan yang sejenisnya.
Kedua, sabar. Yaitu sebagaimana ucapan penyair:
“Sabar itu seperti namanya, pahit rasanya, akan tetapi akibatnya lebih manis dari madu.”
Maka orang yang sabar itu akan melihat bahwasanya musibah ini berat baginya dan dia tidak menyukainya, akan tetapi dia membawanya kepada kesabaran, dan tidaklah sama di sisinya antara adanya musibah dengan tidak adanya, bahkan dia tidak menyukai musibah ini akan tetapi keimanannya melindunginya dari marah.
Ketiga, ridha. Dan ini lebih tinggi dari sebelumnya, yaitu dua perkara tadi (ada dan tidak adanya musibah) di sisinya adalah sama ketika dinisbahkan/disandarkan terhadap qadha dan qadar (taqdir/ketentuan Allah) walaupun bisa jadi dia bersedih karena musibah tersebut, Karena sesungguhnya dia adalah seseorang yang sedang berenang dalam qadha dan qadar, kemana saja qadha dan qadar singgah maka dia pun singgah bersamanya, baik di atas kemudahan ataupun kesulitan. Jika diberi kenikmatan atau ditimpa musibah, maka semuanya menurut dia adalah sama. Bukan karena hatinya mati, bahkan karena sempurnanya ridhanya kepada Rabbnya, dia bergerak sesuai dengan kehendak Rabbnya.
Bagi orang yang ridha, adanya musibah ataupun tidak, adalah sama, karena dia melihat bahwasanya musibah tersebut adalah ketentuan Rabbnya. Inilah perbedaan antara ridha dan sabar.
Keempat, bersyukur. Ini adalah derajat yang paling tinggi, yaitu dia bersyukur kepada Allah atas musibah yang menimpanya dan jadilah dia termasuk dalam golongan hamba-hamba Allah yang bersyukur ketika dia melihat bahwa di sana terdapat musibah yang lebih besar darinya, dan bahwasanya musibah-musibah dunia lebih ringan daripada musibah-musibah agama, dan bahwasanya ‘adzab dunia lebih ringan daripada ‘adzab akhirat, dan bahwasanya musibah ini adalah sebab agar dihapuskannya dosa-dosanya, dan kadang-kadang untuk menambah kebaikannya, maka dia bersyukur kepada Allah atas musibah tersebut. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Tidaklah suatu musibah menimpa seorang muslim kecuali Allah akan hapuskan (dosanya) karena musibahnya tersebut, sampai pun duri yang menusuknya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari ‘A`isyah)
“Tidaklah seorang muslim ditimpa keletihan/kelelahan, sakit, sedih, duka, gangguan ataupun gundah gulana sampai pun duri yang menusuknya kecuali Allah akan hapuskan dengannya kesalahan-kesalahannya.” (HR. Al-Bukhari dari Abu Sa’id Al-Khudriy dan Abu Hurairah)
Bahkan kadang-kadang akan bertambahlah iman seseorang dengan musibah tersebut.
Kembali ke Taqdir; 1. Taqdir Ghoibi (Hny Alloh yg Tau) 2. Taqdir Syar'i (Ada Usaha Manusia) 3. Taqdir Kauni (Berkaitan dg Alam)
- Taqdir Ghoibi bersifat Ghoib dan hny Alloh yg tau...cnth; Kang Dudung dilahirkan sbg seorang lelaki 2. Taqdir Syar'i bersifat Ghoib tp bs Qta usahakan...cnth; Alloh menjanjikan surga bg yg beramal soleh mk otomatis org yg beramal soleh masuk surga 3. Berkaita dg Alam. cnth; Merapi meletus...silahkan dikaitkan kira2 masuk kategori mana...
- segala sesuatu itu tlah di tentukan oleh allah manusia tidak ada kekuatan untuk merubahnya.. nah yang menjadi pertanyaan adalah manusia berdoa , berdasarkan kehendak manusia atau kehendak allah.. ini menjadi pembahasan menarik waktu dulu saya SMA mengaji kitab sanusi. monggo....
- Allah berfirman.
"Artinya : Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu". (Ghafir : 60).
Banyak orang yang berdoa tetapi tidak dikabulkan, kalau seandainya ayat tersebut sesuai dengan zhahirnya pasti tidak mungkin doa tersebut ditolak.
Hafizh Ibnu Hajar menjawab bahwa setiap orang yang berdoa pasti terkabulkan tetapi dengan bentuk pengkabulan yang berbeda-beda, terkadang apa yang diminta terkabulkan, atau terkadang diganti dengan sesuatu pemberian lain, sebagaimana hadits dari 'Ubadah bin Shamit bahwasanya NabiShallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
"Artinya : Tidak ada seorang muslim di dunia berdoa memohon suatu permohonan melainkan Allah pasti mengabulkannya atau menghilangkan daripadanya keburukan yang semisalnya". [Fathul Bari 11/98].
[ Hendaknya Berdoa Dengan Hati Yang Khusyu' Dan Yakin Bahwa Doanya Pasti Akan Dikabulkan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar