Sabtu, 27 November 2010

SALAH KAPRAH TENTANG ’IMAN & TAKLID


oleh Muhammad Mujtahid Muthlaq pada 27 November 2010 jam 23:50

 Patut disayangkan, sejumlah anak muda sudah kemasukan doktrin 'keras kepala' dalam mempertahankan akidah (keyakinan)-nya. Padahal, jelas-jelas Allah mengajari umat Islam untuk memperoleh keimanan dan
mempertahankannya dengan cara menggunakan akal kecerdasan dan bukti-bukti.
Berikut ini saya kutipkan lebih lengkap firman Allah tentang proses keimanan, yang diajarkan oleh-Nya kepada umat Islam.
  1. Allah tidak pernah memaksa manusia untuk beriman. Meskipun akan sangat mudah bagi-Nya untuk melakukan itu. Sehingga, Allah mempertanyakan kewenangan kita, jika kita mengajak manusia beriman dengan cara main paksa. Atau, berkeras kepala dengan mengatakan 'pokoknya'.
  2. Beriman tidaknya seseorang adalah atas izin Allah, karena Dia adalah Dzat Yang Maha Mengetahui isi hati kita. Benarkah seseorang itu sedang ingin beriman, ataukah sekedar karena alasan lain, misalnya.
  3. Allah ’mengancam’ akan menimpakan kemarahan kepada orang-orang yang tidak menggunakan akal dalam proses keimanannya.

QS. Yunus (10): 99-100
وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَآمَنَ مَن فِي الْأَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعًا ۚ أَفَأَنتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتَّىٰ يَكُونُوا مُؤْمِنِينَ ﴿٩٩﴾ وَمَا كَانَ لِنَفْسٍ أَن تُؤْمِنَ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّـهِ ۚ وَيَجْعَلُ الرِّجْسَ عَلَى الَّذِينَ لَا يَعْقِلُونَ ﴿١٠٠
Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya (apa sulitnya buat Allah?). Maka apakah kamu (hendak)memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?
 Dan tidak ada seorang pun akan beriman kecuali dengan izin Allah; dan Allah menimpakan kemarahan kepada orang-orang yang tidak mempergunakanakal-nya.

Jadi keimanan itu satu garis lurus atau paralel dengan mekanisme akal. Dengan kata lain, jika tidak menggunakan akal dijamin seseorang itu tidak akan memperoleh keimanan. Karena, sebagaimana saya sampaikan di notesebelumnya" SALAH KAPRAH ANTARA AKAL DAN RASIO", orang yang tidak menggunakan akal tidak akan bisa memperoleh pelajaran dari Allah. QS. 3:7.

Padahal, proses keimanan adalah sebuah proses yang dimulai dari ’menggunakan akal’ untuk belajar sampai paham kemudian yakin. Itu pun masih ada tingkatannya, sesuai dengan kadar keyakinannya.
Ilmul yaqin : yakin karena paham dan menguasai teorinya
Ainul yaqin : yakin karena mengalami sendiri dalam praktek
Haqqul yaqin: yakin seyakin-yakinnya karena berulang-ulang memperoleh bukti

Orang yang tidak menjalani proses ini tidak akan mencapai tingkat keyakinan alias akidah yang dimaksudkan oleh Allah dalam firman-firman-Nya. Yaitu, keimanan yang menggetarkan hati dan jiwanya. Yang membuatnya bisa tersungkur bersujud sambil menangis. Melainkan hanya sekedar ’ikut-ikutan yakin’ seperti dikatakan oleh orang lain kepadanya. Mungkin oleh temannya, mungkin oleh orang tuanya, mungkin oleh gurunya, dlsb. Tanpa menggunakan akal untuk menyaring dan mengritisinya. Kalau yang demikian ini bukan Iman namanya, tetapi ’taklid buta’. Dan Allah melarang cara beragama yang demikian.

QS. Al Israa’ (17): 36
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَـٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا ﴿٣٦
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai ilmutentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggung-jawabannya.

QS. Al Baqarah (2): 170
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنزَلَ اللَّـهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا ۗ أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ ﴿١٧٠
Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapatkan dari bapak-bapak kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun bapak-bapak mereka itu tidak berakal (la ya’qilun)/ tidak mengetahui apa pun, dan tidak mendapat petunjuk?"

QS. Luqman (31): 21
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنزَلَ اللَّـهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا ۚ أَوَلَوْ كَانَ الشَّيْطَانُ يَدْعُوهُمْ إِلَىٰ عَذَابِ السَّعِيرِ ﴿٢١
Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang diturunkan Allah". Mereka menjawab: "(Tidak), tapi kami (hanya) mengikuti apa yang kami dapati pada bapak-bapak kami". Dan apakah mereka (akan mengikutinya) walaupun syaitan itu menyeru mereka ke dalam siksa neraka?

QS. Yusuf (12): 108
قُلْ هَـٰذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّـهِ ۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي ۖ وَسُبْحَانَ اللَّـهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ ﴿١٠٨
Katakanlah: "Inilah jalan (agama)-ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak kepada Allah dengan hujjah (argumentasi & bukti) yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik".

QS. Al Anbiyaa’ (21): 56
قَالَ بَل رَّبُّكُمْ رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ الَّذِي فَطَرَهُنَّ وَأَنَا عَلَىٰ ذَٰلِكُم مِّنَ الشَّاهِدِينَ ﴿٥٦
Ibrahim berkata: "Sebenarnya Tuhan kamu ialah Tuhan langit dan bumi yang telah menciptakannya; dan aku termasuk orang-orang yang dapat memberikan buktiatas yang demikian itu".

Ringkas kata, proses beragama bukanlah sebuah proses yang ikut-ikutan. Harus menggunakan akal kecerdasan berdasar petunjuk Allah. Karena, setiap diri akan dimintai pertanggungjawaban. Tidak bisa disandarkan kepada orang lain, meskipun itu adalah orang tua, guru, sahabat, atau siapa pun. Dan ketika kita salah, kita tidak bisa beralasan: ’’ya Allah, saya kan cuma mengikuti kiai ini, ustadz itu, profesor dan doktor lulusan universitas yang terkemuka ...’’ dst, dlsb. Oh, alasan semacam itu tidak akan diterima. Yang ditanya, tetap saja, adalah:bagaimana kamu bisa memutuskan dan melakukan hal yang menjadi keyakinanmu ini..?!

QS. Yunus (10): 35
....فَمَا لَكُمْ كَيْفَ تَحْكُمُونَ ﴿٣٥
... Mengapa kamu (berbuat demikian)? Bagaimanakah kamu mengambilkeputusan?

QS. Al Mudatstsir (74): 37-38
لِمَن شَاءَ مِنكُمْ أَن يَتَقَدَّمَ أَوْ يَتَأَخَّرَ ﴿٣٧﴾ كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِينَةٌ ﴿٣٨
Bagi siapa saja di antaramu yang berkehendak akan maju atau mundur(mengambil petunjuk atau tidak). Setiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya,

jadi tidak di benarkan taqlid taqlid buta... atau berijtihad tapi belum mempunyai kemampuan untuk berijtihad... yang diperbolehkan adalah taqlid yang disertai pengetahuan tentang hukum yg bersangkutan.. 

Wallahu a’lam bisshawab.
~ salam ~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar