Jumat, 03 Desember 2010

hadits Shohih, Dho’if dan Qudsi

        Hadits Shohih yang disepakati atas keshohihannya adalah matan hadits yang ittishol sifatnya, yaitu sambung menyambung isnadnya, sekira-kira setiap perawinya ada mendengar yang diriwayatkan itu dari Syeikhnya, dan tidak bersifat syadz, tidak kemasukan
illat, baik yang tersembunyi ataupun yang nyata, yang diriwayatkan oleh orang yang mempunyai sifat Adlurriwayah, lagi kuat ingatannya dan catatannya, dimana ia meriwayatkan itu dari orang yang sepertinya juga, terus menerus sampai kepada Rasulullah saw atau kepada Shahabat, ataupun kepada Tabi’y.

Perlulah diketahui bahwa ada bertafawut (mempunyai selisih) keshohihan suatu hadits, tergantung kepada kuat tidaknya daya ingat dan daya catat Rijalnya dan kepada kemasyhuran mereka dalam hafal dan wara’ kesungguhan dan Ihtiyaath para Mukhorrijnya. Oleh karena itu telah disepakatilah bahwa hadits shohih menurut tertibnya adalah sebagai berikut :
1. Yang disepakati oleh Al-Bukhori dan Muslim dalam mengeluarkannya;
2. Dimana Al-Bukhori sendiri mengeluarkannya;
3. Dimana Muslim sendiri mengeluarkannya;
4. Hadits yang dikeluarkan menurut syarath Al-Bukhori dan Muslim;
5. Hadits yang dikeluarkan menurut syarath Al-Bukhori;
6. Hadits yang dikeluarkan menurut syarath Muslim;
7. Hadits yang dikeluarkan menurut syarath selain Al-Bukhori dan Muslim;

Dan bahwa hadits shohih Ibnu Khuzaimah lebih shah dari shohih Ibnu Hibban dan shohih Ibnu Hibban lebih shah dari Al-Mustadrak Al-Hakim, disebabkan selisih mereka itu dalam Ihtiyyath. Ada hadits yang disebut Silsilatuddzahab (rantai mas) yaitulah hadits yang diriwayatkan Malik dari Nafi’ dari Ibnu Umar.

        Adapun hadits Dho’if adalah hadits yang berada dalam taraf dibawah martabat Hasan. Sedangkan hadits Hasan adalah hadits yang terkenal tempat keluarnya, hanya Rijalnya itu tidak mempunyai kemasyhuran hadits shohih. Tersebut dalam Al-Manzumatul Baiquniyyah sebagai berikut :
أَوَّلُهـَــا الصَّحِيْحُ وَهُوَ مَااتَّصَـــــلْ * إسْـــــنادُهُ ولم يـَشُذَّ أو يُعـَـــلْ
يـَـرْوِيهِ عَدلٌ ضــابطٌ عن مِثــــلِهِ * معــــــَتمَدٌ فى ضبـْطه ونقْـــــلِهِ
والحسَنُ المعْروفُ طُرْقا وَغَدَتْ * رجالُهُ لَا كَالصَّحيح اْشَتهَرَت
وكلُّمَا عن رُتبْةِ الحُسْنِ قَصُــــرْ * فَهْو الضعيف وَهْوَ أقساما كَـثرُ ْ

Artinya : “Yang pertama dari nama-nama hadits adalah hadits shohih yaitulah yang bersambung isnadnya dan tidak syadz dan tidak ma’lul. Meriwayatkan dia seorang adil lagi kuat daya ingatnya dan daya catat, yang menaqal dari orang sepertinya, yang dapat diperpegangkan pada dhabathnya dan naqalnya. Dan hadits hasan adalah yang terkenal segala jalannya dan adalah para perawinya tidak semayhur perawi shohih. Dan tiap-tiap hadits yang berada di bawah martabat hasan, maka yaitulah hadits dha’if dan terdiri dari banyak bagiannya.”

          Adapun Hadits Qudsi yaitulah suatu hadits yang dipandang dari sudut pengertiannya adalah dari Allah swt. Seperti apa-apa yang dikabarkan Allah kepada NabiNya dengan ilham atau mimpi, maka Rasulullah saw mengabarkan tentang itu dengan susunan lafadznya sendiri sesuai dengan maksud pemberitaan Allah kepadanya. Perbedaannya dengan Alquran adalah bahwa Alquran, lafadz dan maknanya dari Allah Ta’ala, sedangkan Hadits Qudsi, maknanya dari Allah swt dan susunan katanya dari Nabi saw. Untuk itu kami nukilkan apa yang termaktub dalam Ta’rifat Lissayyid Al-Jurjani, sebagai berikut :
الحديث القدسيُّ هو من حيث المعنى من عند الله ومن حيث اللفظ من رسول الله صلى الله عليه و سلم.
Artinya : “Hadits Qudsi itu pada segi maknanya adalah dari Allah sedangkan segi lafadznya dari Rasulullah saw.”

Untuk lebih mendalam persoalan hadits perlu kita pelajari sebanyak mungkin ilmu hadits diroyah atau Mustholahul Hadits. Dan bagi mereka yang akan beristidlal dengan hadits-hadits memerlukan tahu hal-hal yang berkenaan dengan Rijalul Hadits Ilmu Jarhi wa Ta’dil untuk menentukan keadaan maqbulnya dan mardudnya suatu hadits. Orang-orang yang baru menaqalkan hadits-hadits dari kitab-kitab umpamanya kitab kumpulan hadits hukum seperti Bulughul maram, Muntaqal Akhbar, Attajul Jami’ lil Ushul dan kitab-kitab yang sepertinya, apalagi kalau hanya menerima riwayat itu dari guru-gurunya secara ta’liq, yakni dengan membuang awwalussanad, janganlah dulu menamakan diri dengan Ahlul Hadits dan jangan bertepuk dada menganggap enteng para Fuqaha’ dan Aimmatul Mujtahidin, yang telah melaut ilmu mereka itu Radhiallahu anhum Ajma’in.

Dan agar kita mengetahui apa maksud dari kata Ahli Hadits “ini hadits shohih” atau “ini hadits dha’if” marilah kita ikuti perkataan Sayyidi Muhammad Az-Zurqani pada Hamisi Syeikh Athiyyah Al-Jhury halaman 34, sebagai berikut :
حيث قال أهل الحديث : هذا حديثٌ صحيح أو هذا ضعيف , فمرادُهم فيما ظهرلهم عملا بظاهر الإسناد لا القطْعُ بصحته أو ضعفه فى نفس الأمر لجواز الخطأِ والنسيان على الثــِّقَةِ والضَّبْطِ والصِّدْقِ على غيره , هذا هو الصحيح الذى عليه أكــثرَ أهلِ العلم. 

Artinya : “Sekira-kira berkata Ahli Hadits: “ini hadits shohih” atau “ini hadits dha’if” maka maksud beliau-beliau itu adalah menurut dzahir hasil pemeriksaan mereka dengan dzahir isnadnya, bukanlah memastikan dengan shahnya atau dho’ifnya pada Nafsul Amar, karena mungkin bisa tersalah dan lupa orang yang dipercaya, dan boleh juga benar dan kuat daya ingat dan catat bagi selain mereka itu. Inilah yang shohih menurut pendapat kebanyakan para ahli ilmu.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar